Boron Tetap Mengajar, Sekalipun Hanya Dengan Satu Kaki (Bagian Satu)

SIARAN PERS, PANDEGLANG, BANTEN — Suatu sore di Pandeglang, Banten, Boron muda sedang sibuk mengurus ladangnya. Sebagaimana kebiasaan, Boron membelah ranting-ranting yang menutupi lahan tanamnya. Tak di sangka, sabetan goloknya mengusik sebuah sarang ular. Sungguh tak beruntung, tanpa disadari Boron muda, seekor ular menggigit kakinya. Sore itu, Boron muda kesakitan, satu kakinya mengalami nyeri luar biasa. Saat itu, rumah sakit belum memiliki serum anti bisa ular. Tak ayal, dengan perjuangan, Boron harus kehilangan satu kakinya. Hari itu, Boron muda harus hidup dengan satu kaki di sisa hidupnya.

“Saat itu, saya lagi di ladang, bersihin ranting. Ada ular gigit kaki saya. Rumah sakit jauh, dan pas sudah sampai rumah sakit, tidak ada obatnya. Hingga terpaksa harus diamputasi,” begitu Boron memulai kisahnya. Sebuah bale, di pojok teras MDTA Anwarul Hidayah jadi tempat ia bercerita.

Petani adalah pekerjaan Boron, tapi profesi sejatinya adalah seorang guru. Kebutuhan ekonomi ia penuhi dengan mencangkul, menanam, dan memanen. Sedangkan kebutuhan spritiualnya, ia penuhi dengan mengajar anak-anak di desanya tentang bagaimana cara membaca, menulis, dan mengaji. Anak-anak di kelasnya, sering menyapanya dengan pangggilan Abah Boron. Sudah sejak lama ia mengajar, walau hanya dengan satu kaki. Tak bisa lepas dia dari profesi tersebut, walau pernah sekali ia coba untuk pergi merantau, namun entah bagaimana ia kembali lagi di ruang kelas MDTA Anwarul Hidayah.

“Sudah lama saya mengajar pak, sudah tidak bisa lepas dari hidup saya. Pernah saya merantau ke Jakarta, tapi saya dapat kabar kalau anak-anak nanyain saya. Dua bulan merantau, saya balik lagi kesini, ngajar lagi,” tambahnya.

Setiap hari, rutinitas Boron adalah berladang ketika matahari terbit. Ketika siang tiba, ia pulang untuk membersihkan diri, dan beribadah. Pukul setengah dua siang, ia berganti kostum, tampil serapih mungkin, karena baginya guru adalah teladan. Bab berpakaian saja ia jaga agar muridnya tak salah mencontoh.

Dengan tongkat bantu jalan hadiah temannya, ia perlahan menuju sekolah. Bersama rekannya, Guru Edah (35), Boron mengajar dengan sabar. Walau hanya dengan satu kaki, Boron nampak lihai dengan tongkatnya. Dua tangannya ia gunakan untuk menulis dan menggenggam buku ajar. Satu kakinya bertugas menjadi tumpuan utama tubuh. Satu lagi kaki yang tersisa, nampak kokoh bersama tongkat andalannya.

“Walau hanya dengan satu kaki, sama sekali tidak mengganggu mengajar saya,” aku Boron, namun memang dengan melihat tongkat sederhana buatan tangan itu saja, sudah bercerita banyak tanpa harus berbicara. (Dompet Dhuafa / Zulfana)