COP26 Glasgow: Kesempatan Terbaik yang Terakhir

Oleh: Syamsul Ardiansyah – Senior Officer Jaringan Strategis Dompet Dhuafa
Sentul, 28 Oktober 2021

BOGOR — Pada November 2021, Inggris bersama dengan Itali akan menjadi tuan rumah Konferensi Para Pihak PBB untuk Perubahan Iklim ke-26. Konferensi kali ini dipandang sebagai kesempatan terakhir yang paling baik untuk mengendalikan perubahan iklim yang kian terkendali.

Konferensi Para Pihak untuk Perubahan Iklim ke-26, selanjutnya diringkas COP26, adalah pertemuan ke-26 yang secara rutin diselenggarakan PBB untuk membahas krisis paling genting pada abad ini, yakni perubahan iklim akibat pemanasan global.

Berdasarkan pembahasan dalam forum-forum COP sebelumnya, kenaikan suhu Bumi yaitu 2 derajat di atas rata-rata di masa revolusi industri threshold tertinggi. Jika Bumi semakin memanas, umat manusia—kasarnya—akan dipaksa mencari planet untuk dihuni yang sepertinya mustahil, setidaknya hingga saat ini.

Kesepakatan Paris 2015 tentang Perubahan Iklim yang merupakan outcome COP21 Paris menyepakati toleransi tertinggi suhu Bumi adalah pada tingkat 1,5 derajat di atas rata-rata suhu saat revolusi industri. 

Penetapan 1,5 derajat kenaikan suhu Bumi menjadi penanda umat manusia tidak boleh membiarkan suhu Bumi berkembang tidak terkendali hingga mencapai ambang batas kemanusiaan. Selain itu, menjadi batas rentang kendali umat manusia dalam mengatasi dampak-dampak terburuk akibat perubahan iklim.

(Foto: Ilustrasi)

Mengapa COP26 Glasgow disebut-sebut sebagai kesempatan terbaik yang paling akhir?

Pertama, sejak berakhirnya Perang Dunia ke-2, kenaikan temperatur Bumi memang bergerak eksponensial, dari 0,4 derajat celcius pada Tahun 1940-an menjadi 1,2 derajat celcius di Tahun 2018. 

Sayangnya dalam tiga dekade terakhir, energi dan waktu lebih banyak terbuang untuk “berdebat kusir” dengan para “denial”, yang tidak percaya pemanasan global sebagai akibat langsung dari perbuatan manusia, berikut banyak sekali tindakan mal-adaptasi dan mal-mitigasi perubahan iklim.

Kedua, time is running out! Kita punya waktu hingga 2030 untuk memastikan pemanasan global berada dalam kondisi yang terkendali. Jika tidak, kejadian-kejadian ekstrem akibat perubahan iklim akan semakin menggerus kemampuan umat manusia dalam menghadapi keadaan yang kian tidak tentu.

Assessment Report ke-6 dari Inter-Governmental Panel on Climate Change (AR6 IPCC) semakin menegaskan, bahwa krisis iklim telah merusak berbagai sudut daratan, lautan, dan udara di planet kita. Tidak bisa tidak, kita harus segera mengubah perilaku konsumsi yang terlalu boros dan merusak. Kita juga dituntut untuk segera menyediakan solusi-solusi praktis dan berkelanjutan untuk setiap individu yang paling rentan memiliki kemampuan minimum untuk beradaptasi dan bertahan menghadapi perubahan iklim.

Tentu saja, kita tidak ingin mempertahankan atau bahkan mewariskan tradisi yang merusak. Kita ingin berhenti dan memutar haluan ke arah pola konsumsi yang lebih ramah iklim, yang memberikan kesempatan bagi generasi mendatang menikmati sumberdaya yang saat ini kita nikmati secara berkelanjutan.

(Foto: Ilustrasi)

Kita harus mendesak para kepala negara dan kepala pemerintahan untuk menyepakati adanya outcome yang ambisius dari COP26 Glasgow 2021 berikut dengan strategi implementasinya hingga tingkat lokal yang menjamin tegaknya keadilan iklim di semua tingkatan masyarakat. (Dompet Dhuafa / Dhika Prabowo)