Diaspora Bercerita: Melintas Batas, Bangun Mimpi Anak Indonesia

JAKARTA — Pendidikan menjadi suatu urgensi yang menentukan hidup banyak orang. Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan baik laki-laki/perempuan, Sabang sampai Merauke, yang di perkotaan maupun yang di pedalaman. Saat ini, dirasa pendidikan di Indonesia masih kurang. Literasi di indonesia masih belum merata. Banyak sekali faktor yang menghambat pemerataan kualitas pendidikan indonesia termasuk di dalamnya infrastruktur sekolah, akses pelayanan pendidikan, hingga pemerataan tenaga pendidik.

Beberapa lembaga non-pemerintah (NGO), memiliki tekad yang tinggi dalam upaya meratakan pendidikan di seluruh negeri. Termasuk di dalamnya adalah Sekolah Guru Indonesia (SGI) Dompet Dhuafa dan Sokola Rimba. Keduanya telah berperan aktif dalam pengabdian mendidik anak-anak bangsa di pedalaman selama berpuluh tahun.

Dalam suatu kesempatan secara daring, pada Rabu (8/12/2021), melalui kanal DDTV (https://www.youtube.com/watch?v=g425nZfReBc), Dompet Dhuafa dan Sokola Rimba mengelar perbincangan dan diskusi mengenai isu pendidikan di daerah-daerah terpencil Indonesia. Dalam perbincangan tersebut, agaknya ditemukan adanya kekeliruan persepsi dari masyarakat urban dalam memandang pendidikan di daerah-daerah 3T. Pada perbincangan tersebut, dengan dipandu oleh Host Cici Kurnia, Dompet Dhuafa mengajak salah satu aktivis SGI dan juga Pencetus Sokola Rimba untuk saling berbagi pengalaman.

Pada permulaan diskusi, Bambang Suherman selaku Direktur Komunikasi dan Aliansi Strategis Dompet Dhuafa menyampaikan mengenai sudut pandang pendidikan oleh Dompet Dhuafa. Bahwa, pendidikan menjadi satu dari 5 (lima) tema pengelolaan kemiskinan di Indonesia bagi Dompet Dhuafa selain ada ekonomi, kesehatan, sosial, dan dakwah.

Dompet Dhuafa meletakkan program pendidikan pada wilayah/layer pengembangan. Jadi, lanjutnya, sejatinya Dompet Dhuafa membagi 3 (tiga) layer dalam melaksanakan program. Paling bawah adalah pelayanan, di tengah adalah pengembangan, dan tingkat lanjutnya adalah pemberdayaan. Pendidikan berada pada layer tengah yaitu pengembangan. Salah satu tujuan dari pendidikan di Dompet Dhuafa adalah untuk membuka akses bagi masyarakat marjinal supaya memiliki pengetahuan yang bisa dikonversi menjadi keterampilan.

Konsentrasi pendidikan di Indonesia cenderung terpusat di wilayah padat penduduk atau urban. Sehingga banyak wilayah kosong yang tidak tersentuh.

“Maka, Dompet Dhuafa meletakkan satu konsentrasi penting bagi akses pengetahuan masyarakat melalui program pendidikan di pelosok-pelosok negeri. Dompet Dhuafa memiliki banyak program pendidikan salah satunya SGI untuk memastikan wilayah jauh yang terisolasi memiliki kesempatan untuk mendapatkan proses pembelajaran yang baik,” jelasnya.

Ia lanjut menjelaskan, Dompet Dhuafa memiliki kepedulian yang tinggi di bidang pendidikan dengan biaya utamanya adalah dana zakat. Dengan hal tersebut, harapan Dompe Dhuafa mampu melahirkan SDM-SDM yang unggul yang mampu membawa keluar gerbong kemiskinan keluarga, baik melalui pengetahuan maupun melalui keterampilan. Nah, melalui skema kaderisasi pendidikan inilah Dompet Dhuafa bergerak mendesain beberapa model program pendidikan mulai dari model paling dasar yaitu memenuhi kebutuhan atas akses belajar hingga model _advance_ yaitu pelatihan pengelolaan kapasitas para pendamping pendidikan.

Beberapa hasil dari sekolah-sekolah yang mendapatkan pendampingan dari guru-guru SGI adalah menjadi sekolah yang unggul, berprestasi, dan juara. Bambang mencontohkan ada satu sekolah di Imogiri, Yogyakarta. Paska gempa Yogyakarta tahun 2006, sekolah hancur. Setelahnya tidak dilirik sama sekali. Kemudian oleh guru di SGI sekolah tersebut didampingi dengan memanfaatkan segala media kearifan lokal, sehingga kini menjadi sekolah percontohan di Yogyakarta.

Sama halnya dengan SGI Dompet Dhuafa, Sokola Rimba memiliki kemiripan pandangan dan program. Sokola Rimba mendampingi masyarakat yang berada di pelosok-pelosok dengan kearifan lokal yang ada supaya tetap berdaya dan tidak seenaknya diperlakukan tidak adil oleh masyarakat urban.

Saur Marlina Manurung atau lebih akrab dikenal Butet Manurung, seorang antropolog dan perintis Sokola Rimba, menanggapi bahwa pengabdian di pedalaman adalah memang nalurinya sejak kecil. Meski hidupnya sebenarnya telah terfasilitasi semua oleh orang tua, namun itu tak mengubah kecintaannya terhadap alam.

“Mengabdi di pedalaman adalah memang pekerjaan impian saya sejak kecil,” utasnya.

Umumnya, orang dengan latar pendidikan yang tinggi, akan memilih untuk berkarir dan mengaplikasikan ilmunya di daerah urban. Namun berbeda dengan Butet. Alumnus dari dua program studi di Unpad, yaitu Antropologi dan Sastra Indonesia tersebut memilih berinteraksi dan mengaplikasikan semua ilmunya di Sokola Rimba.

Sekolah ini bukan sekolah biasa. Ini merupakan sekolah rintisan Butet usai mengabdi pada Suku Kubu di pedalaman hutan Jambi. Saat ini, Sokola Rimba telah memiliki 17 program di seluruh Indonesia dan memberikan manfaat kepada lebih dari 15.000 masyarakat adat untuk bisa mengenyam pendidikan formal.

Seiring melanglang-buananya Sokola Rimba, Butet berhasil menciptakan Kurikulum Hadap Masalah. Kurikulum ini sudah diterapkan di seluruh wilayah di Indonesia dengan mengalami penyesuaian sesuai dengan fonologi setempat. Meski begitu, Butet ingin lembaga ini tidak membesar dan tetap selalu kecil. Yang ia inginkan adalah dampaknya yang besar. Menjaga dan merawat kearifan lokal melalui pendidikan bagi Butet sangat lah penting. Butet pun mencoba menarik kurikulum sendiri untuk sessuai dengan kebaikan masing-masing daerah.

“Kecil namun solid sehingga dampaknya besar. Yang menjadi indikator keberhasilan Sakola Rimba bukan dari keberhasilan per-individu namun secara komunitas. Keberhasilannya adalah dari sejak kita datang itu seperti apa hingga menjadi apa. Dan merdeka belajar itu adalah secara komunitas dari gurunya, masyarakatnya, hingga anak-anaknya,” jelasnya.

Jika Butet lebih banyak mengabdi pada pendidikan-pendidikan alam, berbeda dengan Febri Reviani, guru SGI yang saat ini sedang mengabdi di Lombok Utara, Kaki Gunung Rinjani, Nusa Tenggara Barat tersebut ditempatkan di sekolah-sekolah formal. Meski begitu, sebagian besar metode yang digunakannya sama seperti Sokola Rimba. Yaitu memaksimalkan media-media pengajaran yang ada di sekitar tanpa terlibat banyak menghakimi cara pengajaran yang telah masyarakat lakukan selama ini.

Febri menceritakan, dirinya mengikuti program SGI pada tahun 2013. Setelahnya, ia ditempatkan di akhir tahun 2013 selama 1 tahun di Desa Tasik Malaya, Kecamatan Batu Ampar, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat.

Dengan motonya “Hidup adalah Sebuah Tantangan”, Lulusan S1 Pendidikan Olahraga UNY tersebut memilih mengabdi di daerah karena menurutnya di kota belum mendapat banyak tantangan. Maka itu ia tertarik untuk mengabdikan diri di daerah-daerah terpencil melalui program SGI Dompet Dhuafa.

“Waktu itu saya ditempatkan di sana, saya kira jauhnya dan terpencilnya itu biasa-biasa saja. Ternyata setelah sampai di bandara, saya harus menempuh perjalanan air dengan menyusuri Sungai Kapuas. Ternyata perjalanan tidak hanya menyusuri sungai, tapi juga menyeberangi laut Kepulauan Riau padahal tidak masuk Provinsi Kepulaun Riaum,” jelasnya.

Penyusuran Sungai Kapuas memakan waktu selama 4 (empat) jam setengah. Kemudian menyeberang laut selama 30 menit. Sesampainya di pelabuhan, ternyata belum dekat, Febri masih harus menempuh perjalanan kaki selama 45 menit dengan jalan setapak.

“Di SGI kami dibimbing dan dibangun kejiwaan kami menjadi seorang guru bagaimana proses pengabdiannya. Setelah di tempatkan di daerah pengabdian, meskipun dengan jarak yang sangat jauh dan sulit, Saya merasa justru menjadi orang yang terpilih untuk mengabdikan diri di sini. Jadi saya merasa memang terpanggil. Sehingga saya harus maksimal melakukan perubahan. Apalagi di SGI kami tertanam bahwa dalam diri kami mengalir dana-dana zakat dari umat yang berharap dapat memberikan perubahan bagi umat manusia,” lanjutnya.

Selama ditempatkan di pengabdian daerah 3T, yang Febri melihat di sana sebenarnya orang-orang daerah memiliki kompetensi yang sama di wilayahnya masing-masing. Yang mereka butuhkan hanyalah peluang dan arahan untuk mengelola potensi mereka menjadi lebih baik. Meskipun dengan akses yang sulit, namun mereka tetap harusnya memiliki kesempatan dan hak yang sama.

Febri menceritakan hal menarik selama berada di daerah pengabdian. Masyarakat di sana mayoritas berpenghasilan dari kopra. Bahkan anak-anak pun sudah bisa mengupas kelapa dengan tombak dalam sehari bisa 500 hingga 1000 kopra. Hal itu ternyata sudah terlatih sejak anak-anak usia 10 tahun.

“Permasalahannya adalah banyak yang sudah berpikir kenapa masih harus sekolah. Toh udah bisa menghasilkan uang. Selain itu ada penikahan dini karena tidak mempedulikan pendidikan. Saat orang asing datang dengan tujuan mengeksploitasi tanah mereka, yang mereka lakukan hanya diam dan memang tidak memiliki ilmunya untuk bertindak,” jelasnya.

Mengabdi di sekolah formal justru menjadi sebuah tantangan lebih bagi Febri. Selain harus tetap menerapkan kurikulum yang telah disusun oleh pemerintah, ia juga harus menyesuaikan dengan kurikulum lokal.

“Ada begitu banyak peluang media pembelajaran yang ada di alam. Kami maksimalkan pada pelajaran muatan lokal yang berbasis dengan kearifan lokal. Di situ, tidak hanya memuat bagaimana mempelajari bahasa lokal, namun juga memanfaatkan hal-hal yang ada di sekitar. Salah satu yang saya lakukan adalah mengenalkan berbagai jenis tanaman yang ada di sekitar mereka dan bagaimana memanfaatkannya menjadi sesuatu yang bernilai. Kemudian sampah-sampah kelapa saya gunakan sebagai media pembelajaran,” lanjutnya.

Bagi Febri, selain kepada anak-anak, guru SGI juga bertugas memberikan pengajaran kepada para orang dewasa untuk bisa melakukan advokasi terhadap kearifan lokal di sana. Ia melihat banyak sekali orang dewasa yang buta huruf. Ia megajak mereka untuk mengenal huruf dan bacaan berbasis dengan keterampilan mereka masing-masing.

Di akhir sesi, Cici memberikan kesempatan kepada para pembicara untuk melengkapi diskusi dengan menyampaikan kalimat-kalimat penutup sebagai sebuah kesimpulan.

“Kami punya otimisme membangun pendidikan anak dengan banyak model program pendidikan. Mudah mudahan ini menjadi runag baru untuk menyelesaikan bahwa pendidikan sebenarnya bersifat situasional dan lokal dan tidak bisa diseragamisasi sehingga kita perlu memunculkan keraifan lokal sebagai modal utama dalam memajukan pendidikan Indonesia,” sebut Bambang Suherman.

“Kontribusi yang bisa kita lakukan adalah dari hal-hal kecil di sekitar kita,” seru Febri Reviani.

“Ketika kita datang ke suatu komunitas mana pun, kita juga harus menempatkan mereka menjadi guru kita. Guru yang baik adalah yang bersedia belajar dari murid-muridnya. Bahwa mereka memiliki sistem pengetahuannya masing-masing. Jangan sampai kita datang justru merusak sistem pengetahuan mereka, seolah-olah kita paling tau dan sistem mereka salah. Sehingga yang ada bukannya kita menyelamatkan mereka justru mencemari mereka,” pungkas Butet Manurung. (Dompet Dhuafa / Muthohar)