Dompet Dhuafa Bahas Urgensi Keterlibatan Civil Society dalam Keterjaminan Akses Terhadap Perumahan Layak

JAKARTA — Chief of DMC (Disaster Management Centre) Dompet Dhuafa, Haryo Mojopahit, mengatakan, dalam salah satu respon bantuan pada tahap recovery ketika terjadi suatu peristiwa (bencana) alam yang dahsyat, salah satu program DMC yaitu mendirikan Huntara (Hunian Sementara) untuk para penyintas yang kediamannya terdampak rusak sedang juga berat. Alih-alih mengisi rentang waktu 2-3 tahun untuk menunggu kebijakan pemerintah setempat untuk relokasi wilayah untuk mendirikan Huntap (Hunian Tetap), maka Huntara akan jauh lebih layak daripada dibawah tenda terpal selama mengungsi.

“Tadi ada pertanyaan, apa BUMN bisa bekerjasama dengan pemilik lahan yang tidak produktif untuk pemukiman layak? Saya kira akan memungkinkan sekali. Seperti halnya lahan Huntara yang DMC dirikan di Palu pasca peristiwa gempa, tsunami, dan likuifaksi. Alhamdulillah, dengan konsepnya wakaf, kita bekerjasama dengan developer, bahan material pun bantuan dari para donatur atau CSR perusahaan,” sebut Haryo Mojopahit selaku Narasumber dalam sebuah FGD (Focus Group Discussion) yang membahas sub-tema ‘Intervensi Isu-isu Krusial dalam Keterjaminan Akses Terhadap Perumahan yang Layak’ pada Sabtu (16/10/2021).

Ia lanjutkan, “Dalam kondisi darurat, sangat memungkinkan itu terjadi. Menunggu kebijakan relokasi keluar hingga 2-3 tahun, lakukan juga perjanjian dengan pihak masyarakat. Dan dalam kondisi bencana, biasanya Huntara yang dibangun, minimal ada akses penunjang sarana MCK/wash, mengacu pada standar-standar kelayakan, ketersediaan bahan material, dan titik lokasi bencana”.

Sedangkan Elisa Sutanudjaja selaku Executive Director of RUJAK Center for Urban Studies, turut memaparkan bahwa, pemenuhan layak ini bukan tentang hak atas kepemilikan properti, namun hak kebijakan untuk melindungi seperti misalnya memastikan tidak adanya relokasi atau penggusuran.

“Seperti di daerah Slipi, itu disana banyak komplek perumahan-perumahan BUMN, salah satu contoh kebodohan perencanaan menurut saya meski inipun penugasan negara sebenarnya. Pemenuhan layak ini bukan hak kepemilikan properti, tapi hak kebijakan untuk melindungi seperti memastikan tidak adanya penggusuran, dan lain sebaginya,” papar Elisa.

“Dalam memiliki hunian kedua, ketiga, itu tidak ada pajak progresif,” lanjut Elisa, “Dan dengan harga tanah/properti yang terus meningkat dan lahan-lahan makin menyempit, tentu makin krusial keterjaminan akses terhadap perumahan yang layak untuk kita hingga generasi mendatang. Banyak konsep bangunan hunian kini ternyata malah mendorong krusial bahaya-bahaya itu terjadi. Saya kira, lembaga seperti Dompet Dhuafa ini bisa mulai masuk juga pada perencanaan pembangunan dan perumahan, termasuk peran-peran sebagai lembaga penting disini,” pungkas Elisa.

Diskusi ini merupakan rangkaian menyusun review berkala terkait human rights, dalam bahasan tema ‘Peran dan Urgensi Keterlibatan Civil Society dalam UPR (Universal Periodic Review) untuk Indonesia Tahun 2022. Pun dilaksanakan secara daring melalui Zoom Us dan telah bergulir kali keempat, sebelumnya membahas pengajuan, hak anak, kemudian hak kesehatan.

Baca Juga: https://dompetdhuafa.org/id/berita/detail/Dompet-Dhuafa-Bahas-Urgensi-Keterlibatan-Civil-Society-Pemenuhan-Hak-Kesehatan-di-Indonesia-Dalam-FGD-Bersama-SOPHIE–dan-LKIHI-FHU

“Membahas layak dan terjangkau, juga bagi millenial. Kini dalam proses memantau isu krisis dalam affordable housing, jangankan masa bencana, bukan bencana pun masih banyak yang sulit memiliki rumah. Maka kedepan perlu dipahami dan disupport bersama, bahwa hunian layak bukan hanya memiliki atau membeli rumah dengan luas tertentu, ada pekarangan, dan sebagainya, namun juga harus siap dengan metode sewa. Dan bukan hanya tentang lahan satu atau dua lantai, namun memang bangunan vertical,” jelas dr. Teguh Kurniawan, S.Sos, M.Sc, Ketua Departemen Ilmu Administrasi Negara FIA UI, selaku Narasumber. (Dompet Dhuafa / Dhika Prabowo)