Edah, Pendidik Ulung dari Ujung Barat Jawa (Bagian Dua)

SIARAN PERS, PANDEGELANG, BANTEN — Bangunan tiga kelas MDTA Anwarul Hidayah, tak kalah pengabdiannya dibanding dengan para tenaga pengajar, seperti Edah. Sudah berdiri sejak tahun 1981, menjadi oase keilmuan bagi anak-anak di desa tersebut. Sekolah agama itu bahkan sudah berdiri mendahului sekolah formal dari pemerintah. Sejak pertama berdiri, bangunan itu baru sekali mengalami renovasi, hasil swadaya warga setempat. Renovasi itu terjadi puluhan tahun lalu.

Beberapa yang tersisa kali ini adalah tiga kelas dengan tembok yang hanya setinggi paha orang dewasa. Menampung rajutan bambu setinggi enam meter, bertugas sebagai dinding. Pilar-pilar bangunan nampak susah payah menopang genteng diatasnya. Beberapa pilar masih kuat, sebagian lain sudah menunjukkan tanda-tanda menyerah. Karenanya, genteng bangunan tersebut nampak bergelombang bila dilihat dari luar. Jangan menghela nafas dulu, sebelum melihat apa yang ada di dalamnya.

Papan tulis adalah benda yang paling mewah di ruangan kelas, nampak paling berkarisma bila dibanding meja dan kursi reot yang tak sampai hati bila diduduki orang dewasa. Sebagian siswa memilih belajar dengan beralaskan tikar yang dibawa dari rumah. Dari semua itu, lantai menjadi yang paling tidak bisa diajak kompromi. Hanya tanah, para siswa langsung duduk di permukaan bumi untuk belajar. Bila hujan, air masuk membuat lantai jadi becek berlumpur. Bila panas, kelas jadi berdebu membuat siswa menggunakan sarung dan kerudungnya sebagai masker. Kamis siang (12/11), di dalam kelas, Bu Edah tetap mengajar. Satu tangannya memegang spidol, satu lagi memegang kerudung yang ia jadikan masker.

“Memang dari semua (kebutuhan bila direnovasi), kami sangat berharap lantainya bisa dipasang keramik pak, debunya sangat mengganggu saya dan murid-murid. Sesak kami semua di kelas,” begitu Bu Edah menceritakan kesehariaannya di kelas.

Baca Juga: http://dompetdhuafa.org/id/berita/detail/Edah–Pendidik-Ulung-dari-Ujung-Barat-Jawa–Bagian-Satu

Sudah paham kondisi kelas mereka, para murid bahkan juga membawa ember air sebelum pelajaran dimulai. Para murid menyirami lantai kelas dengan air untuk mencegah debu mengganggu acara belajar mereka. Sekalipun begitu, para murid tetap tertib datang dan anti membolos sekalipun kelas mereka seperti itu. Kelas dimulai pukul 13.30 wib, tapi anak-anak sudah datang setengah jam sebelumnya. Ekspresi lugu mereka dibalut dengan rasa penasaran, pelajaran apa lagi yang akan diceritakan Bu Edah pada mereka. Hal itu yang membuat Bu Edah tak pernah bosan mengajar disana, sekalipun selama 12 tahun tak pernah mendapat gaji.

“Anak-anak itu semangat sekali belajarnya pak, seperti ini lah, mereka datangnya sudah lebih dulu dari saya, pada nyiramin kelas pakai air sebelum saya datang, paham kalau saya sudah batuk-batuk kalau masuk kelas berdebu,” tambahnya.

Bukan hanya itu yang jadi semangat Edah dalam mendidik. Edah paham bahwa anak-anak di desa tersebut dilahirkan dengan kecerdasan mereka masing-masing. Hanya dibutuhkan guru dan fasilitas belajar agar kecerdasan mereka terus bertumbuh. Saat anak-anak menyelesaikan tugas yang ia berikan, atau bertanya sesuatu, atau ketika para siswa paham apa yang ia ajarkan, itulah kepuasan hakiki yang bisa Edah rasakan sebagai guru. Bagi Edah, tak digaji pun tak apa, asal anak-anak senang belajar, dan paham dengan apa yang ia berikan.

“Kalau mereka menyelesaikan tugas yang saya berikan, lalu paham apa yang saya ajarkan, sesuai dengan apa yang saya ekspektasikan, itu jadi kebahagiaann sekali bagi saya, tidak bisa diukur dengan apapun, cuma saya dan guru lain yang paham kebahagiaan itu,” tutur Edah. (Dompet Dhuafa / Foto & Penulis: Zulfana / Editor: Dhika Prabowo)