Ekonomi Kurban 2020, Potensi Kurban Nasional

SIARAN PERS, JAKARTA — Kurban tidak hanya ritual ibadah, namun telah menjadi tradisi sosial-ekonomi besar tahunan. Sebagai negara muslim terbesar, potensi kurban di Indonesia sangat signifikan. Institute For Demographic and Poverty Studies (IDEAS) memproyeksikan potensi ekonomi kurban nasional tahun 2020 mencapai 20,5 triliun rupiah, yang berasal dari 2,3 juta orang pekurban (Shahibul Qurban) di seluruh Indonesia. (Rabu, 15/07)

Peneliti IDEAS Askar Muhammad menjelaskan proyeksi tersebut bersumber dari perkiraan 62,4 juta keluarga muslim dimana 9 persen diantaranya adalah kelas menengah-atas dengan pengeluaran per kapita diatas Rp 2,5 juta per bulan, didapatlah 5,6 juta keluarga muslim sejahtera.

“Dari 5,6 juta keluarga muslim sejahtera ini, kami perkirakan 40 persen diantaranya melakukan ibadah kurban, dengan asumsi satu keluarga berkurban satu hewan kurban,” katanya pada diskusi pemaparan hasil riset IDEASTalk dengan tajuk ‘Ekonomi Kurban 2020’, yang dilakukan secara daring melalui aplikasi Zoom Meeting, Rabu (15/07/2020).

Askar menambahkan bahwa 2,3 juta orang perkiraan muslim berdaya beli tinggi yang berpotensi menjadi pekurban (shahibul qurban) ini, kebutuhan hewan kurban terbesar adalah kambing dan domba sekitar 1,9 juta ekor, sedangkan sapi dan kerbau sekitar 452 ribu ekor.

Dengan asumsi marjin perdagangan dan pengangkutan hewan ternak adalah 20 persen serta tingkat harga rata-rata kambing/domba di tingkat produsen Rp 1,9 juta per ekor dan sapi/kerbau Rp 15,0 juta per ekor, IDEAS memperkirakan nilai ekonomi dari kurban 2020 sekitar Rp 20,5 triliun.

“Dengan asumsi berat kambing-domba antara 20-80 kg dengan berat karkas 42,5 persen serta berat sapi-kerbau antara 250-750 kg dengan berat karkas 50 persen, maka potensi ekonomi kurban 2020 dari sekitar 2,3 juta hewan ternak ini setara dengan 117 ribu ton daging,” ujar Askar.

Sebagai pembanding, sepanjang tahun 2019 yang lalu, produksi daging sapi dan kerbau nasional adalah 514 ribu ton, sedangkan produksi daging kambing dan domba 163 ribu ton. Fakta ini menunjukkan bahwa potensi ekonomi dari ritual tahunan kurban tidak dapat dipandang kecil.

Potensi Kurban yang Tidak Merata

Potensi kurban Indonesia tidak terdistribusi secara merata, hal ini mencerminkan kesenjangan pendapatan antar wilayah di Indonesia. Kesenjangan yang lebar terjadi antara daerah perkotaan Jawa dengan wilayah lainnya. Potensi kurban terbesar datang dari wilayah aglomerasi utama Jawa dimana mayoritas kelas menengah muslim dengan daya beli tinggi berada.

“Dari sekitar 5,6 juta keluarga muslim kelas menengah-atas Indonesia, 71 persen diantaranya berada di Jawa. Dan dari sekitar 4,0 juta keluarga muslim sejahtera di Jawa ini, 2,0 juta diantaranya berada di Jabodetabek dan 1,0 juta lainnya tersebar di Bandung Raya, Surabaya Raya, Yogyakarta Raya, Semarang Raya dan Malang Raya,” ungkap Askar.

Dengan kelas menengah-atas muslim terkonsentrasi di perkotaan utama Jawa, maka potensi kurban terbesar kami perkirakan datang dari wilayah-wilayah ini. IDEAS memproyeksikan pasar hewan kurban terbesar adalah Jabodetabek dengan permintaan 184 ribu sapi dan 673 ribu kambing-domba, berturut-turut setara dengan 41 persen dan 36 persen permintaan sapi dan kambing-domba kurban nasional.

Keseluruhan wilayah aglomerasi utama Jawa diproyeksikan membutuhkan 273 ribu sapi dan 995 ribu kambing-domba, setara dengan 60 persen dan 53 persen permintaan sapi dan kambing-domba kurban nasional. Dengan sentra ternak nasional berada di daerah pedesaan Jawa dan luar Jawa, maka setiap Idul Adha selalu menjadi momentum keriuhan arus perdagangan hewan kurban.

“Arus perdagangan utama hewan kurban ini kami proyeksi terjadi, terutama dari sentra sapi potong di Lampung, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, serta dari sentra kambing-domba di Jawa Barat, Banten, dan Jawa Tengah, menuju pasar utama kurban nasional yaitu Jabodetabek, Bandung, Surabaya, Yogyakarta, Malang dan Semarang,” tutur Askar.

Sebaran Mustahik Kurban yang Juga Tidak Merata

Kesenjangan persebaran tidak hanya terjadi pada potensi kurban saja, potensi mustahik (penerima) kurban juga terdistribusi secara tidak merata. Potensi mustahik kurban terbesar secara umum datang dari daerah pedesaan Jawa dan luar Jawa, dimana kelas bawah muslim dengan daya beli rendah banyak berada.

“Mustahik muslim dengan pengeluaran per kapita dibawah Rp 500 ribu per bulan yang dipandang paling berhak menerima daging kurban (mustahik prioritas) diperkirakan berjumlah 9,3 juta keluarga. Potensi mustahik prioritas terbesar ini datang dari Jawa, yaitu 6,4 juta keluarga,” beber Askar.

Dia menambahkan bila kelas bawah-menengah muslim dengan pengeluaran per kapita Rp 500-750 ribu per bulan yang tergolong rentan miskin (near the poor) turut diperhitungkan, maka mustahik kurban melonjak menjadi 22,9 juta keluarga. Dan kembali, potensi mustahik terbesar datang dari Jawa, yaitu 15,1 juta keluarga.

“Bila potensi shahibul qurban terbesar datang dari wilayah perkotaan utama Jawa, maka potensi mutahik terbesar datang dari daerah pedesaan Jawa,” katanya.

Dari perhitungan IDEAS, daerah dengan potensi surplus kurban terbesar didominasi daerah perkotaan Jawa, yaitu daerah perkotaan Jawa yaitu Jakarta (24 ribu ton), Bandung (6 ribu ton), Surabaya-Bekasi (5 ribu ton) dan Depok-Tangerang (3 ribu ton).

Sedangkan daerah dengan potensi defisit kurban terbesar didominasi daerah pedesaan Jawa, yaitu Kab. Cianjur (-2 ribu ton), Kab. Jember (-1.600 ton), Kab. Garut (-1.500 ton), Kab. Grobogan – Brebes (-1.300 ton) dan Kab. Cirebon – Probolinggo (-1.200 ton).   

Askar mencontohkan Jabodetabek sebagai wilayah metropolitan termaju dan terbesar di Jawa berpotensi menghasilkan 47 ribu ton daging kurban, namun kebutuhan mustahik di Jabodetabek hanya sekitar 5 ribu ton, sehingga terdapat potensi surplus 42 ribu ton daging di Jabodetabek.

Tak jauh dari Jabodetabek, pedesaan di Banten Selatan yaitu Kab. Pandeglang dan Kab. Lebak, hanya berpotensi menghasilkan 260 ton daging, namun kebutuhan mustahik-nya mencapai 1.500 ton, sehingga terdapat potensi defisit 1.250 ton daging. Dengan demikian, terdapat potensi mismatch yang besar dalam penyaluran daging kurban jika tidak dilakukan rekayasa sosial.

Dari fakta potensi daerah surplus-minus kurban ini, maka program pendistribusian hewan kurban keluar dari daerah asal shahibul qurban yang banyak dilakukan lembaga amil zakat saat ini adalah tepat dan positif.

“Program tebar hewan kurban dari daerah surplus ke daerah minus yang dipelopori oleh Dompet Dhuafa sejak 1994 ini, adalah penting untuk distribusi kurban yang tepat sasaran dan signifikan untuk pemerataan dan peningkatan kesejahteraan si miskin,” tutup Askar.