Semangat Mengenyam Pendidikan, Gotong-royong Bangun Sekolah Baru

SIARAN PERS, PANDEGLANG, BANTEN — Pendidikan di wilayah pelosok, seringkali kurang terjamah pemerintah. Hal itu dapat terlihat dari minimnya jumlah sekolah yang tersedia. Belum lagi jika mempertimbangkan akses jalan yang masih sulit dan perlu perbaikan.

Namun perlu diperhatikan, walaupun jumlah sekolah dan akses jalan yang masih membutuhkan perhatian. Minat penduduk di pelosok-pelosok negeri akan pendidikan bukan berarti tidak ada. Hal tersebut dapat dilihat dari kondisi MI Al-Huda 2 yang berlokasi di Rancapinang, Cimanggu, Kabupaten Pandeglang, Banten.

Semenjak didirikannya sekolah tersebut pada 2009. Sekolah hanyalah beratapkan papan dan fasilitas yang seadanya. Gedung hanya terdiri dari tiga kelas yang memiliki ukuran 3 X 3 meter. Tidak ada toilet dan tidak ada ruang guru. Waktu kegiatan belajar mengajar untuk masing-masing kelas pun harus digilir.

Namun berkat bantuan OVO dan Dompet Dhuafa. Sekolah tersebut mengalami relokasi dan perbaikan. Hasilnya sekarang telah bertambah menjadi delapan ruang yang meliputi enam ruang kelas dan dua ruang guru. Masing-masing memiliki luas 5 x 5 meter. Uniknya semua pembangunan dan relokasi dilakukan secara swadaya oleh masyarakat sekitar. Dari orang dewasa hingga anak-anak.

“Ya membantu bukan berarti porsinya sama dengan yang dewasa. Tapi bantu-bantu kecil. Mau bagaimana lagi, mereka semua ternyata semangat dengan adanya gedung sekolah yang baru,” ujar Ramsudin Fajri, selaku Kepala Sekolah MI Al-Huda, Kamis (6/2/2020) lalu.

Dahulu dengan kondisi gedung yang lama. Jumlah murid yang tertarik ke sekolah hanya berkisar 10 sampai 11 anak. Tapi setelah dibangun baru, peminat bertambah hingga berkisar 25 sampai 30 murid.

“Anak saya yang sudah sekolah saja mintah pindah ke sekolah Al-Huda. Soalnya lebih bagus dan lebih dekat rumah,” ujar salah seorang wali murid yang juga penjaga warung sekolah.

Di sekolah tersebut, anak-anak tidak dibebankan biaya bulanan. Alias mereka semua dapat mengenyam pendidikan secara gratis. Kecuali ketika hendak kenaikan kelas. Itupun tidak pernah lebih dari Rp.100.000. Uang memang bukan menjadi tujuan utama dibangunnya sekolah tersebut. Melainkan kesempatan untuk memperoleh pendidikanlah yang paling utama. Jadi tidak heran banyak sekali anak yang tertarik sekolah di sini walaupun sudah menjadi siswa dari sekolah lain.

“Kalau sudah besar nanti. Saya mau jadi ABRI, Kak,” pungkas Willy Ardiansyah (7), salah seorang murid. (Dompet Dhuafa/Fajar)