Kisah Pasutri Sepuh Penyintas Semeru: Rumah dan Sawah Hancur, Bersyukur Cucunya Tak Gugur (Bagian Tiga)

LUMAJANG, JAWA TIMUR — Bu Sukarminah lanjut menceritakan kenangan pilu saat erupsi terjadi. Ia mengaku saat itu yang dilihatnya hanyalah debu vulkanik hitam yang tebal. Perlahan debu semakin tebal dan pekat, hingga menyerupai hujan batu menjatuhi pemukimannya di Dusun Kajar Kuning, Desa Sumberwuluh, Kecamatan Candipuro, Kabupaten Lumajang. Begitu ia melihat ke arah Gunung Semeru, terlihat dengan samar seperti api merah menyala dengan percikan-percikan besar di sekitarnya. Tidak sampai di situ, setelahnya kemudian datang angin topan hingga menumbangkan pepohonan juga meruntuhkan rumah-rumah di lokasi tersebut.

“Debu vulkanik sangat tebal. Di tengahnya merah-merah kayak api, di luarnya hitam debu. Kemudian setelah sampai di desa, ada angin topan, pohon-pohon kelapa tumbang. Namun Alhamdulillah, orang-orang yang saat itu berkumpul di rumah kakak saya, diselamatkan oleh Allah SWT. Sebenarnya di dekat sana ada bukit yang rencananya kalau banjir datang, kami semua naik ke sana. Namun gak sempat, debunya sangat tebal dan gelap,” ucapnya.

Yang ia rasakan saat itu, pertolongan Allah benar-benar datang. Sebanyak 42 orang mulanya bermaksud mengevakuasi diri dengan lari sejauh mungkin. Tapi, cepatnya kejadian saat itu tak memungkinkan mereka untuk menyelamatkan diri. Maka mereka memilih untuk berlindung ke dalam rumah yang dirasa paling kuat untuk menahan hujan abu vulkanik beserta angin topan yang menerjang. Semua orang merasa sudah pasrah dengan apa yang akan terjadi setelahnya.

“Waktu itu kita 42 orang yang berada di rumah itu, sudah pasrah benar-benar pasrah kepada Allah. Semua yang di dalam baca 'Astaghfirullahal Adzim, Astaghfirullahal Adzim, Astaghfirullahal Adzim, ya Allah, ya Allah, ya Allah, berilah keselamatan bagi kami ya Allah’. Alhamdulillah semua yang di situ diselamatkan oleh Allah. Alhamdulillah selamet. Masih diberi waktu untuk berbuat kebaikan,” jelasnya.

Baca Juga: http://dompetdhuafa.org/id/berita/detail/Kisah-Pasutri-Sepuh-Penyintas-Semeru–Rumah-dan-Sawah-Hancur–Bersyukur-Cucunya-Tak-Gugur–Bagian-Dua

Hingga sampai pada situasi aman, pandangan sudah mulai terlihat, debu sudah tak berjatuhan, angin pun sudah mulai tenang, Bu Sukarminah dan suami beserta dua cucunya dijemput kemudian menuju ke rumah yang lebih aman. Begitu terkejut tatkala di luar yang dilihatnya adalah reruntuhan rumah dan pohon tertutup oleh abu vulkanik yang sangat tebal. Tak terkecuali rumahnya, bagian depan hancur, bagian belakang hancur, bahkan atap rumahnya pun tersingkap entah ke mana. Barang-barang di dalam rumahnya pun tertutup oleh abu.

“Setelah lama sekali, kemudian sudah agak terlihat sedikit-sedikit, anak saya datang jemput saya suami dan cucu-cucu yatim. Samar-samar liat rumah saya dan rumah-rumah sekelilingnya sudah hancur parah. Kemudian kami dibawa mengungsi di rumah saudara,” lanjutnya.

Saat ini, yang dipikirkannya hanyalah bagaimana kedua cucunya yang yatim dapat tinggal di tempat yang aman. Ia berharap keadaan segera membaik, hunian sementara segera terwujud sehingga ia dan sang suami dapat memulai lagi berkativitas untuk menyiapkan cucunya menjadi generasi yang bermanfaat kelak bagi keluarga maupun orang lain. (Dompet Dhuafa / Muthohar)