Apa Pengertian Piatu dan Maknanya?

Kita sering kali mendengar istilah yatim piatu. Penjelasan tentang yatim usdah sangat banyak sekali. Namun bagaimana dengan pengertian piatu? Apa makna dari piatu itu sendiri dan bagaimana kedudukannya dalam Islam? 

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Piatu berarti anak yang ibunya sudah meninggal. Mereka yang masih kecil namun sudah berstatus piatu tentu saja butuh dukungan dan bantuan, khususnya kasih sayang. Walaupun memiliki bapak atau ayah, namun keberadaan ibu juga sangat berarti. Pasti ada yang pincang dalam kehidupannya, tanpa kehadiran ibu kandung. 

Namun, syarat utama mereka yang disebut anak yatim, piatu, dan yatim piatu tidak serta merta seluruh usia, namun dibatasi hanya mereka yang belum baligh saja. Dilansir dari laman rumahfiqih, kapan seseorang itu disebut baligh? Para ulama membahasnya dengan memberikan beberapa tanda, diantaranya:

  • Keluar mani, baik melalui mimpi atau lainnya.
  • Haid atau hamil bagi perempuan.
  • Tumbuh bulu kemaluannya.
  • Usia 15 bagi laki-laki dan 9 bagi perempuan dengan tahun qamariyah, sebagai batas minimal.

Di dalam Islam sendiri, anak yatim dan piatu yang berhak dibantu untuk zakat dan sedekah tidaklah sembarangan. Di dalam Al-Quran sendiri, anak yatim atau anak piatu bukanlah golongan yang disebutkan berhak menerima zakat. Apalagi jika mereka masih memiliki keluarga yang mampu menafkahi, mampu memberikan kebutuhannya, dan warisan yang ditinggalkan. 

“Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah.” (QS At-Taubah: 60)

Para ulama berpendapat bahwa jika anak yatim atau piatu memiliki keadaan seperti 8 golongan yang disebutkan dalam Al-Quran tersebut, maka mereka boleh untuk menerima zakat. Misalnya anak yang berasal dari keluarga tidak mampu, ayahnya masih ada namun sakit-sakitan dan tidak bisa menafkahi, atau dalam keadaan yang benar-benar miskin.

Dalam penjelasan lain, disebutkan juga dari Abu Bakar bin Muhammad bin Abdul Mu’min Al Husaini, 

“Cabang permasalahan, anak kecil ketika tidak ada orang yang menafkahinya, maka menurut sebagian pendapat (yang lemah) ia tidak boleh diberi zakat, karena sudah tercukupi dengan anggaran dana untuk anak yatim dari harta ghanimah (rampasan). Menurut pendapat ashah (kuat), ia dapat diberi zakat, maka harta zakat diberikan pada pengasuhnya, sebab terkadang tidak ada yang menafkahi anak kecil kecuali dia, dan terkadang pula anak kecil tersebut tidak mendapatkan bagian anggaran dana untuk anak-anak yatim, karena orang tuanya miskin. Aku berkata: “Urusan harta ghanimah di zaman ini sudah tidak ada lagi di berbagai daerah, karena tidak adilnya para penguasa, maka sebaiknya memastikan bolehnya memberikan zakat pada anak yatim, kecuali anak yatim tersebut tergolong nasab mulia (nasab yang bersambung pada Rasulullah) maka tidak boleh untuk memberinya zakat, meskipun ia tercegah dari bagian seperlima dari seperlimanya harta ghanimah menurut qaul shahih”

Untuk itu, tidak semua yang dikatakan anak yatim dan anak piatu berhak untuk mendapatkan zakat. Berbeda dengan sedekah, karena sedekah tidak terikat peruntukannya, sehingga bisa diberikan kepada siapapun asalkan untuk kebaikan. Namun, zakat terikat pada delapan golongan yang berhak. 

Pemberian harta kepada anak yatim dan piatu pun juga harus dibantu dan dikelola oleh orang dewasa yang dipercaya. Mereka yang masih di bawah umur tentu belum bisa dan belum bijak untuk mengelola harta apapun. 

Untuk itu, jika kita bertemu dengan anak yatim, piatu, atau yatim piatu maka bisa kita bantu dengan sedekah, atau zakat jika memang dipastikan sudah sesuai dengan syarat yang dijelaskan di atas. Namun yang terpenting jangan lupa memberikan perhatian dan kasih sayang, karena itu juga yang mereka butuhkan.