Ketua FOZ, Bambang Suherman: TBC Erat dengan Kemiskinan

JAKARTA — Ketua Forum Oganisasi Zakat (FOZ) Bambang Suherman, mengatakan tuberkulosis atau TBC memiliki keterkaitan erat dengan kemiskinan. Lingkungan dengan tingkat kemiskinan yang tinggi, relatif lebih tinggi pula potensi penularan dan penyebarannya. Sebaliknya, seseorang berpotensi menjadi miskin apabila terjangkit penyakit TBC.

“TBC menjadi penyakit yang erat menyelimuti dunia kemiskinan. Pengidap TBC atau bahkan mantan pengidap TBC memiliki kesulitan mendapatkan penghasilan,” ucap Bambang, pada diskusi urgensi eliminasi TBC 2030 di Hotel Maharadja, Mampang, Rabu (18/12/2019).

Menurut Bambang, bicara tentang kemiskinan tak lepas dari pendidikan rendah dan kebiasaan yang kurang sehat. Baik segi kebersihan maupun pola makan. Selain itu, rumah atau tempat tinggal masyarakat miskin relatif padat nan kumuh, dan sanitasi yang kurang baik. Kondisi seperti itu membuat penyakit mudah menjangkit dan menyebar. TBC sebagai penyakit yang mudah menular, sering kali dijumpai di kawasan tersebut.

Pernyataan tersebut diperkuat oleh dr. Imran Pambudi, Kasubdit TBC Kemenkes. Dalam acara yang sama, Imran memaparkan, TBC memang erat kaitannya dengan orang miskin. Namun jika dilihat dari data Kemenkes, TBC bukan hanya menyerang orang-orang miskin saja. Orang kaya pun bisa terkena penyakit menular tersebut.

“Lebih dari setengah pasien TBC kehilangan pekerjaan,” ungkap Imran.

Bambang juga menambahkan, orang kaya pun memiliki potensi terkena TBC. “Logikanya adalah, orang kaya yang bisa mengontrol makan dan punya uang untuk berobat saja bisa terkena. Bagaimana dengan yang miskin?” tegasnya.

Maka dari itu, tak heran orang yang dulunya kaya, kemudian terkena TBC, setelahnya jatuh miskin. Faktornya adalah, pertama biaya pengobatan TBC tidaklah sedikit. Kedua, proses penyembuhan membutuhkan waktu yang lama (berbulan bahkan bertahun-tahun). Ketiga, pengidap TBC tidak dapat maksimal bekerja, karena keadaan fisik yang melemah. Sehingga ia akan memilih untuk berhenti bekerja (tukang ojek misalnya atau pedagang kaki lima). Keempat, jika seorang karyawan, ia berpotensi diberhentikan dari pekerjaannya.

Tidak berhenti sampai di situ, mantan pengidap TBC akan sulit mendapatkan pekerjaannya kembali.

“Pengidap TBC atau bahkan mantan pengidap TBC memiliki kesulitan mendapatkan penghasilan. Di samping fisiknya yang melemah, perusahaan-perusahan akan mempertimbangkan pekerjanya yang mengidap TBC,” papar Bambang. (Dompet Dhuafa/Muthohar)