JAKARTA — Tumpukkan pekerjaan, lalu lintas yang macet, ban motor yang bocor, kerap kali membuat kita merasa stress luar biasa. Seringkali dalam kondisi seperti itu, kita mengeluh, bahkan mengumpat. Tapi tahukah Sahabat, bahwa di luar sana masih banyak orang-orang yang beban hidupnya lebih berat daripada kita. Kita harus banyak belajar bagaimana merawat semangat dari mereka.
Mari belajar dari ketangguhan Sopiah (60). Meski fisiknya terus melemah akibat penyakit komplikasi yang dideritanya. Ia terus berjuang memenuhi kebutuhan keluarga. Suaminya, Budiman, mengalami amputasi di bagian hidung akibat tumor ganas. Sehingga, suaminya tidak lagi bekerja. Kini, Pak Budiman menghabiskan waktunya untuk membantu istrinya. Sopiah membuka warung nasi uduk dan nasi goreng di bilangan Petojo Utara. Setiap harinya ia harus berjuang melawan letih yang terus datang. Alasan ia terus berjuang sangatlah sederhana. Namun sarat makna, tidak ingin membebankan suami dan anak-anaknya. Kini bebannya sedikit lebih ringan setelah mendapatkan bantuan modal dan suaminya mendapat bantuan hidung palsu dari para dermawan lewat Dompet Dhuafa.
Kisah lainnya datang dari Sri Rezeki. Setiap harinya ia merasa ingin kembali ke masa lalu. Masa di mana ia dan suaminya sama-sama bekerja dan kehidupan mereka dapat dikatakan lebih dari cukup. Masa di mana ia menjadi muzakki yang sangat aktif berzakat. Namun roda terus berputar, jika dulu ia berada di atas, hari ini ia merasa sangat berada di bawah. Empat tahun lalu, suaminya meninggal dunia karena sakit batu ginjal. Sedikit demi sedikit harta yang ia miliki pun berkurang, tersedot untuk biaya pengobatan suaminya. Sepeninggal suaminya, Sri jatuh miskin dan tidak memiliki apa-apa. Sadar bahwa ia harus tetap bertahan demi menghidupi anak-anaknya, Ia memutuskan untuk berjualan gado-gado. Namun sayang, usaha tak bertahan lama. Ia terjebak dalam lingkaran bank keliling, dan hal itu membuat modalnya habis untuk membayar bunga dari hutangnya. Akhirnya, kini ia bekerja mengelem kertas pada rekannya yang penjual gorengan. Setiap satu kertas dihargai Rp.50 dan perharinya ia mendapatkan uang sebesar Rp.5.000-Rp.10.000. Namun ia terus berjuang demi meneruskan hidupnya.
Dari kisah tersebut, dapat kita tarik pelajaran bahwa masalah akan terus menerus datang tak kenal waktu. Roda kehidupan akan terus berputar tanpa bertanya apakah kita siap atau tidak. Tak ada gunanya mengeluh dan menyesali keadaan. Karena keluhan dan umpatan kita tak akan mengubah keadaan menjadi lebih baik. Dari Sopiah dan Sri, kita belajar semangat Humanesia dan kepahlawanan seorang ibu demi memenuhi kebutuhan keluarganya. Semangat tersebut sudah sepatutnya kita contoh dan kita praktekkan kedalam kehidupan kita. Jadi akankah kita terus mengeluh? (Dompet Dhuafa/Dea)