JAKARTA — Indonesia meruapakan negara dengan angka bencana yang tinggi. Tercatat di Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sekitar 2,574 bencana terjadi hanya di 2018. Sampai Januari 2019 saja, sudah terjadi 365 kejadian bencana. Angka tersebut mengalami kenaikan dibanding dengan tahun-tahun sebelumnya. Di 2016, angka kejadian bencana berada di angka 2.306 kejadian bencana. Lalu di 2017 mengalami sedikit kenaikan menjadi 2.391 kejadian bencana. Jadi, dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, 2018 menjadi tahun cukup kelam bagi tren kebencanaan di Indonesia.
Bukan hanya memakan korban jiwa, kerugian materi pada negara juga sangatlah besar. Kejadian bencana gempa bumi di Lombok dan Sumbawa pertengahan 2018 misalnya. BNPB mencatat setidaknya kerugian atas bencana tersebut mencapai angka Rp 17,13 trilyun. Begitu juga gempabumi dan tsunami di Sulawesi Tengah menyebabkan kerugian dan kerusakan lebih dari Rp 13,82 trilyun. Belum termasuk dengan kerugian materi dari bencana besar akhir tahun seperti tsunami Selat Sunda.
Secara geografis, Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada pertemuan empat lempeng tektonik yaitu lempeng Benua Asia, Benua Australia, lempeng Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Oleh karena itu, potensi bencana yang besar adalah hal yang wajar. Indonesia dari zaman dahulu juga sudah sering bersinggungan dengan kebencanaan.
Lalu kenapa masih banyak korban jiwa dan kerugian materi yang begitu besar ketika bencana datang? Langkah mitigasi yang kurang merata dan massif, dirasa menjadi penyebabnya. Banyaknya korban jiwa dan kerugian materi ketika bencana disinyalir karena kurangnya edukasi kebencanaan sebagai salah satu langkah mitigasi.
Sebagai contoh, bisa diambil di negara Jepang, dimana masyarakatnya rutin melakukan simulasi bencana baik dari tingkat sekolah sampai dewasa. Sehingga ketika bencana benar-benar terjadi, masyarakat tahu apa yang harus mereka lakukan. Insfrastruktur juga didesain ramah terhadap bencana, seperti bangunan ramah gempa, early warning system yang aktif juga terpasang di banyak wilayah berpotensi bencana. Bentuk-bentuk mitigasi tersebut akan menekan angka kerugian baik jiwa ataupun materi saat terjadinya bencana.
“Kita harus siap siaga, semua orang harus dieduaksi mengenai mitigasi bencana. Awarenese masyarakat harus ditingkatkan,” terang Agus Wibowo, selaku Kepala Pusat Pendidikan dan Penanggulangan Bencana BNPB, ketika diemui di acara Jakarta Humanity Festival (Jakhumfest) akhir Januari lalu.
Agus mengambil contoh menganai tsunami Selat Sunda, bahwa edukasi mitigasi bukan hanya diperuntukan bagi masyarakat yang tinggal di wilayah rawan bencana.
“Seperti yang terjadi di Banten (tsunami Selat Sunda), kebanyakan korban merupakan turis dari luar daerah. Masyarkat lokal sudah tahu dan paham. Namun dengan turis? Mereka belum teredukasi. Jadi edukasi mengenai mitigasi ini sangatlah penting untuk semua, jadi dimanapun mereka berada, resiko bencana bisa ditekan,” tambah Agus.
Terlepas dari itu semua, penanggulangan bencana bukanlah kewajiban pemerintah atau beberapa pihak saja. Bencana merugikan siapapun, oleh karena itu persoalan bencana adalah persoalan semua pihak. Perlu kerjasama semua elemen, baik pemegang wewenang tertinggi hingga masyarakat umum yang hidup langsung di wilayah beresiko bencana. Sekali lagi Agus Wibowo menegaskan pernyataan tersebut.
“Penanggulangan bencana adalah everybody business, tanggung jawab semua pihak seperti yang dilakukan Dompet Dhuafa hari ini melalui Jakhumfest yang sangat bagus. Sehingga dapat membantu pemerintah, karena pemerintah tidak dapat berjalan sendirian,” tegas Agus. (Dompet Dhuafa/Zul)