Berbagi Kebahagiaan Daging Kurban Bersama Pengungsi Rohingya

LANGSA — Asa atas datangnya masa di mana kemakmuran dan kesejahteraan hanya berjarak sejengkal dari pintu rumah-rumah di bumi Rencong. Masa di mana tiap gampong menjadi episentrum pembangunan dan pemberdayaan masyarakatnya sendiri. Desa-desa tidak lagi dipenuhi kekhawatiran hilangnya generasi muda yang “dipaksa” melancong ke kota-kota besar untuk mencari penghidupan yang layak. Padahal bisa jadi yang dicari itu terletak di sepetak tanah kosong sebelah rumah mereka sendiri, yang menunggu untuk diproduktifkan.

Tak sedikit dari mereka kaum muda yang tergiur bayang kenikmatan dengan mengubah nasib ke kota-kota besar. Namun seiring kepergian rantau pemuda gampong, deretan manusia perahu hadir mengisi pesisir gampong mereka.

Medio Mei, 2015. Tak kurang dari 1000 pengungsi Rohingya, termasuk diantaranya dari Bangladesh terkatung-katung di tengah laut lepas. Dikejar-kejar dan diburu nyawanya, tak bisa berniaga apalagi beribadah dengan tenang di negeri sendiri memaksa mereka menjadi pencari suaka ke NegeriJiran.

Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak; negara-negara ASEAN tidak bersedia menampung para pengungsi. Bantuan makanan, air bersih dan bahan bakar sekedarnya menjadi setitik pelipur lara dan gesture halus penolakan dari pemerintah setempat. Dari sinilah diksi “terkatung-katung” itu dikuak oleh awak media. Karena memang perahu berukuran sedang yang menampung puluhan orang – banyak diantaranya perempuan dan anak-anak – tidak bisa melaju jauh, namun tak bisa pula merapat ke wilayah terdekat.

Melihat kenyataan ini, nelayan-nelayan Aceh, khususnya yang datang dari wilayah Langsa memberanikan diri menarik perahu-perahu Rohingya merapat ke dermaga Kuala Langsa. Meski saat itu yang “dilawan” adalah otoritas pertahanan NKRI di Jakarta. Alasan ancaman terhadap keamanan nasional menjadi pertimbangan utama penolakan panglima TNI terhadap para pencari suaka.

Tapi nelayan-nelayan Langsa, yang didukung oleh pemerintah daerah setempat tak menggubrisnya. Motif kemanusiaan mengalahkan logika keamanan nasional; atau jika mengulik lebih dalam terkuaklah alasan terbesar dan sebenar-benarnya: empati.

Ya, masyarakat Aceh merasakan kemiripan kondisi yang menimpa pengungsi Rohingya dengan histori yang pernah dialami oleh mereka sendiri: yaitu konflik bersenjata dengan aparat. Dari latar belakang tersebut, pada Hari Raya Idul Adha 1436 H ini, Dompet Dhuafa melalui Tebar Hewan Kurban (THK), berbagi kebahagiaan melalui daging kurban.

Tak terelakan lagi, rona bahagia warga setempat yang berbaur dengan para pengungsi Rohingnya saat menyantap nikmatnya daging kurban. Semoga kenikmatan tersebut terus menjadi penyala bahagia masyarakat di gampong dan juga mereka pengungsi Rohingnya di Tanah Rencong. (Dompet Dhuafa/AR. Haryono)