MERAUKE — Bukan sebuah perjalanan singkat, ribuan kilometer menjadi jarak jelajah kali ini. Tentu juga tak lebih dekat berbanding kita ke negara tetangga hanya sekedar berfoto dengan patung singanya. Setelah menempuh perjalanan udara lebih dari 3.700 Kilometer, dari Jakarta, saya yang merupakan salah satu relawan Dompet Dhuafa dan dr. Abdul Halik Malik, MKM, dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI), memutuskan untuk mendarat di Merauke. Harapannya adalah mendapatkan akses pesawat perintis yang lebih banyak menuju Agats, Kabupaten Asmat, Papua.
Setibanya di Papua, bukan perkara mudah untuk mendapatkan sambungan transportasi menuju kawasan yang kini dilanda kasus luar biasa Gizi Buruk dan Campak tersebut. Planning pertama mendarat di Timika dan melanjutkan perjalanan dengan pesawat perintis ke Agats, sekejap sirna. Semua lantaran pesawat yang biasa beroperasi tengah dalam perbaikan. Browsing kapal laut pun bergulir, namun nasib juga belum berpihak kepada kami. Kapal yang berlayar dari Timika ke Agats telah berangkat dua jam sebelum jadwal kami tiba di Timika, dan jadwal selanjutnya tercatat berlayar kembali dalam rute yang sama pada 1 Februari mendatang.
Tak mau menunggu lama, palnning mencari peruntungan pesawat perintis di Merauke, kami jalankan. Tiket dadakan meuju ujung timur Indonesia kami dapatkan. Akhirnya jelang dzuhur, saya dan dr. Malik, mendarat di Merauke, dengan segera menuju kantor-kantor pesawat perintis yang biasa beroperasi terbang ke Bandara Ewer, Agats. Tapi catatan kursi telah habis terjual hingga 31 Januari, yang kami dapati. Strategi demi strategi kami susun untuk dapat dengan segera turut merawat sehat anak-anak Asmat yang tengah mengalami Gizi Buruk dan Campak. Jaringan demi jaringan kami hubungi satu per satu. Hingga akhirnya terkoneksi, dan peruntungan tersebut datang. Tiket Susi Air tertanggal 25 Januari 2018, pukul 11.35 WIT, sementara melegakan perjalanan dalam misi kemanusiaan kali ini.
Di ketinggian 10.500 fit, saya dan dr. Malik, mulai mengudara dari Merauke menuju Bandara Ewer di Agats, Asmat, bersama sepuluh penumpang lainnya. Hampir dua jam penerbangan, akhirnya tiba juga di Asmat. Namun, untuk menjangkau Distrik Agats, kami harus kembali menyambung perjalanan dengan speedboat sekitar 15 menit. Barulah kami tiba di kota atas air tersebut.
Posko induk kasus luar biasa menjadi tujuan utama untuk izin dan berkoordinasi. Seuasai koordinasi barulah sejenak kami menuju lokasi-lokasi di mana anak-anak mendapatkan penanganan akan kasus Gizi Buruk dan Campak. Tak lupa kami juga berkolaborasi dengan relawan lainnya untuk menyusun pergerakan respon selanjutnya. (Dompet Dhuafa/Taufan YN)