Cerita Tapal Batas: Bersama Para TKI Di Balik Jeruji Besi

Oleh : Fadjar Mulya (Marching for Boundary, Baktinusa, Dompet Dhuafa, Penempatan Kalimantan Utara)

 

SEBATIK — Masa pembelajaran kami di marching for boundary pun telah usai. Kurang lebih sebulan kami mendapatkan kesempatan belajar di Desa Sungai Limau, Sebatik Tengah. Mengajar anak Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di sekolah tapal batas, membantu pengembangan desa berbasis koperasi dan UMKM, meramaikan kegiatan di masjid, menjadi kegiatan keseharian kami. Jumat (18/9) kesempatan mengunjungi Kota Tawau, di Negeri Sabah, Malaysia, menjadi kesempatan berharga dan luar biasa.

Tawau, kota yang sering disebut masyarakat sebagai pasar utama penjualan komoditas hasil kebun dari Sebatik menjadi tujuan kami. Berkunjung untuk sekedar melihat potensi pasar sebagai target sasaran produksi UMKM Desa Sungai Limau menjadi tujuan awal. Sehingga kedepannya dapat dipetakan mengenai komoditas pasar yang dapat dikembangkan.

Pagi-pagi kami sudah menuju pelabuhan, bersiap menyeberang laut antara Nunukan (Indonesia) dan Tawau (Malaysia). Tiket sudah terbeli, namun ada sedikit kendala, petugas kapal mengatakan bahwa paspor saya telah habis masa berlakunya, meski tertulis disana habis pada 4 oktober 2015. Namun petugas kapal menanyakan tujuan kami ke Tawau dan berapa hari tinggal di sana. Kami pun menyebutkan tujuan kami dan hanya sekedar pulang dan pergi di hari itu juga, kemudian petugas mengantar kami ke imigrasi Nunukan dan cap paspor pun dibubuhkan.  Petugas mengatakan paspor sudah berakhir, namun karena tujuannya sekedar berkunjung dan ditambah dengan tiket pulang pergi di tangan, saya diperbolehkan berkunjung ke Tawau.

Dua jam perjalanan adalah waktu tempuh untuk sampai ke pelabuhan Tawau. Antrean panjang di imigrasi Malaysia harus kami jalani, dimana 90% yang mengantre adalah TKI. Petugas mendahulukan saya karena membawa paspor yang dikhususkan dengan tujuan lintas batas saja. Sedangkan rekan saya, Aryo harus mengikuti antrean. Petugas kapal lalu mengantarkan saya ke petugas imigrasi, di sana saya diproses. Namun sebuah kejutan terjadi, petugas imigrasi tidak mengizinkan saya masuk ke Malaysia, diperparah lagi dengan bonus mendekam di sel imigrasi. Kubikal sel imigrasi berukuran 4 x 5 Meter dengan kepungan jeruji besi disekelilingnya terlihat menyeramkan. Begitupun dengan pintu dan jendelanya seakan menjadi rumah baru, sebagai tempat peristirahatan saya di Negeri Jiran.

Saya masuk dan kebetulan sudah ada seorang anak muda di sana, kami pun berdiskusi sambil menunggu proses. Ia bernama Ramli, seorang TKI asal nunukan yang ingin bekerja di Tawau. Ramli was-was karena ia pernah menjalani proses ini. Paspor yang bermasalah sekitar satu tahun lalu mengantarkannya ke penjara Malaysia di Kuala Lumpur. Dua bulan masa tahanan ia jalani, kegiatan yang dilakukan hanya sekedar makan dan tidur. Selepas masa tahanan ia dibuang ke Tanjung Pinang, Sumatera dan berlanjut hingga ke Jakarta.

Cerita Ramli membangkitkan kepanikan saya, terbayang bagaimana jika hukuman tersebut menghampiri saya. Tak lama berselang ternyata sudah ada sepuluh orang yang bermasalah di dalam kurungan jeruji besi ini. Semuanya adalah TKI, kecuali saya. Saya pun berdiskusi ke setiap orang yang ada di sini, menanyakan pengalaman mereka sebagai TKI dan hukuman-hukuman yang pernah mereka dapat. Seorang ibu muda bercerita kepada saya sambil menangis, paspor bermasalah sudah kedua kalinya dialaminya. Pertama beliau harus dibuang ke penampungan TKI bermasalah di Sabah, dua minggu masa tahanan beliau jalani. Beliau pun sangat takut jika kejadian itu terulang kembali, karena keinginannya bekerja di sini untuk menghidupi anaknya di Indonesia. Ada juga pemuda yang berniat menikahi calon istrinya di Sabah, ia merupakan TKI yang bekerja di salah satu kota di Sabah, dan bulan ini ingin melamar pujaan hatinya. Tapi ternyata paspor yang bermasalah dalam waktu singkat akan memulangkannya ke Indonesia. Mungkin ini akan menghambat pertemuannya dengan pujaan hati.

Banyak sekali cerita yang saya dapat, hingga kurang lebih 5 jam dalam kurungan ada 15 orang berada di dalam jeruji besi ini. Ada beberapa catatan yang saya garis bawahi, diantaranya adalah soal jaminan seorang TKI, para TKI hanya mengandalkan toke atau juragan mereka. Toke seperti bos dari para budak, mereka lah yang mengurus semua urusan TKI hingga mereka dapat bekerja di sana. Ibarat pemain sepak bola, toke layaknya agen yang mengurus seluruh urusan pemain. Mulai dari gaji, masa kontrak, transfer dan perpindahan klub ditanganinya.

Namun parahnya, banyak toke yang menguras uang TKI, dimulai dari urusan paspor dimana TKI harus membayar diatas angka satu juta rupiah. Kemudian juga uang masuk ke Malaysia, uang tarikan yang terkadang diperparah dengan kekurang-pahaman TKI terhadap undang-undang terkait ketenaga-kerjaan dan hukum lintas batas menambah miris kisah ini. Benar jika banyak yang mengatakan kalau TKI dibodoh-bodohi oleh majikannya. Penghasilan mereka di Malaysia lebih banyak ketimbang mereka kerja di Indonesia, namun dari penghasilan tersebut hanya sedikit yang sampai ke tangan mereka lantaran dipotong ini itu, seperti paspor, pajak dan sebagainya, padahal tidak ada aturan seperti itu.

Berbekal pengalaman ini saya memohon kepada pemerintah agar kegiatan pembekalan dan pengembangan wawasan TKI benar-benar terlaksana secara menyeluruh. Sehingga TKI yang kita kirim pun memiliki wawasan dan pengetahuan. Kondisi di Nunukan hari ini sangat miris, TKI seakan membawa pengetahuan yang nihil, tapi memiliki tenaga yang cukup untuk diperas oleh negara tetangga. Tentu akan sangat mudah dilakukan pembodohan oleh majikan, toke ataupun juragan mereka di sana. Sepanjang proses dari kapal tiba hingga proses imigrasi, TKI seakan dipandang sebelah mata. Bentakan, hardikan, dikasari hingga ada juga yang ditendang dan disuruh pulang. TKI di sini layaknya sebagai budak yang seakan tak bernilai harganya dan dipandang sebelah mata. Seolah mereka hanya dibutuhkan tenaganya, namun belum untuk kecerdasannya.

Saya juga menyoroti perizinan lintas batas yang harus diperbaiki, seperti saat saya mendapat izin cap di imigrasi Indonesia, namun sayangnya tertolak di imigrasi Malaysia. Sehingga sesampai di Malaysia, saya dan warga lain yang mengalami nasib sama harus dipulangkan kembali. Ada dua puluh orang yang dipulangkan hari itu, termasuk saya. Walau demikian, syukur yang tak ada henti terus saya panjatkan. Karena mendapatkan pelajaran yang tidak pernah terfikir oleh saya, masuk sel negara tetangga, bercengkrama, berdiskusi dan mendengarkan keluh kesah TKI yang tentu menjadi catatan pembelajaran kedepan.

Saya sangat berharap kepada pemerintah dan masyarakat semua agar ikut memperbaiki serta memikirkan masa depan TKI. Umumnya masyarakat hanya menilai TKI sebatas pekerja rumah tangga, padahal banyak mereka yang bekerja sebagai buruh kebun, buruh industri, tukang angkat dan sebagainya. Kisah TKI di Bergosong, Sebatik, tentunya juga menjadi pengingat bagi kita semua, bagaimana kehidupan TKI di sini yang diperas tenaganya, namun banyak yang dibatasi akses pendidikannya. Banyak anak-anak mereka tak dapat mengenyam pendidikan dan hanya disuruh orang tuanya  menombak, serta membersihkan kebun sawit juragannya. Pada usia 14 tahun, beberapa dari mereka sudah dinikahkan dan menjadi budak abadi di perusahaan sawit Bergosong.

Terimakasih saya ucapkan kepada Beasiswa Aktivis Nusantara, Dompet Dhuafa yang memberikan kesempatan saya berada di Tapal Batas Indonesia – Malaysia, sehingga saya banyak belajar kehidupan dari para TKI dan masyarakat sekitar. Bercengkrama, berdiskusi dan berbagi tawa bersama mereka, mengajar anak-anak mereka di sekolah tapal batas, serta berkunjung ke kawasan tempat mereka bekerja di Malaysia, tentu menjadi pengalaman berharga. Terkhusus pengalaman bersama mereka di jeruji besi meski hanya berdurasi 5 jam. Namun ini semua akan membekas dalam diri dan batin saya.