Darkonah, The Unsung Hero

Oleh: Hikari Kagawa – Isti Syarifah

 

Musim dingin telah sempurna mencumbui kota yang dikelilingi bangunan angkuh ini tanpa henti. Pohon-pohon nyaris kehilangan seluruh daunnya, seolah mati, tanpa daya, menjulang seperti tiada guna. Orang-orang lebih memilih meringkuk di peraduannya masing-masing, kecuali jika ada kepentingan mereka akan keluar menerobos angin beku.

            Di sebuah bangku taman yang agak lembab di tepi jalan Victoria Park, membelakangi taman hijau, seorang perempuan mengenakan setelan jeans hitam dan jaket musim dingin berwarna pink mentah duduk menyanding dua buah tas kain. Pandangannya lurus menatap kosong ke arah Central Library.

            Namanya Darkonah, seorang perempuan asal Malang yang sudah menghabiskan masa remajanya di Negeri Beton ini. Ketika gadis seusianya tengah mempersiapkan diri untuk kelanjutan sekolahnya, Darkonah harus memperjuangkan nasibnya disalah satu PJTKI yang ada di Surabaya. Ia harus menghafal kosa kata baru serta percakapan dalam Bahasa Canthonese.

            Di mataku, Darkonah adalah perempuan istimewa setelah ibu dan adikku. Sampainya ia menginjak Bumi Hong Kong karena satu niat, menyelamatkan nyawa bapak dan keluarganya. Earphone putih masih menggangtung di lehernya ketika teriakan kecilku membuat Darkonah menoleh.

            Aku berlari kecil agar segera sampai ke tempatnya. Angin musim dingin berhembus, mengibarkan ujung-ujung jilbabku dengan bebasnya.

            “Sudah habis?” tanyaku sambil memeluknya setelah ucapan salamku terbalas.

            Darkonah mengangguk dengan kepala masih berada di atas pundakku. “Alhamdulillah! Itu nyisahin sebungkus nasi ayam penyet buat kamu,” lanjutnya.

            Seperti biasanya, kami pun melangkah meninggalkan kursi kayu itu. Mencari tempat yang lebih aman untuk bertukar cerita. Diiringi air yang jatuh dari langit kami menyusuri jalanan setapak Victoria Park. Minggu ini, mendung tak hanya bergelanyut di langit Cause Way Bay, tetapi juga di wajah sahabatku. Keceriaan di wajahnya lenyap tersapu angin beku.

            “Fa…” lirihnya ketika kami sampai di bawah Central Library. “Aku semalam tanda tangan kontrak baru lagi.”

            Seketika pikiranku berserabut. Suasana pengap seakan menguburku. Dadaku berat. Aku hanya berdiri kaku, menyerap setiap kalimat dari bibir Darkonah dan suara lain dengan  jiwa kosong.

            “Maafkan aku, Fa. Aku terpaksa. Aku gak bisa pulang. Kalau aku berhenti bekerja dari sini bagaimana nasib kedua ponakkanku dan ibuku.”

            Mendengar penuturan demi penuturan Darkonah setiap napas yang kuhirup seakan terselip paku berkarat. Desauan angin membawaku kemasa lalu, dimana Allah menemukanku dengan Darkonah dan cerita-ceritanya.

***

            Bagi semua Buruh Migran Indonesia, minggu adalah hari reuni mingguan. Dari tujuh hari yang ditetapkan pemerintah Hong Kong, BMI mendapatkan satu hari jatah istirahat. Untuk harinya sesuai kesepakan antara majikan dan pekerja. Dan aku, aku telah memilih menghabiskan waktu liburku untuk belajar, melanjutkan studiku di Saint Marry University of Hong Kong Campus.

            Sepulang dari sekolah aku memilih pergi ke masjid yang terletak di daerah Wan Chai. Bersama dua orang sahabatku, menghabiskan sisa libur di atas permadani hijau tua untuk saling menyimak bacaan Qur’an kami secara bergantian.

            “Mbak…” suara lirih dari belakangku nyaris membuat dua sahabatku menutup Al-Qur’annya bersamaan. “Boleh gabung?” lanjutnya masih dengan lirih yang sama.

            Perempuan itu menarik kedua ujung bibirnya membentuk senyum yang begitu manis sambil mengucapkan terima kasih. Kami pun melanjutkan mengaji sebelum adzan Isya’ berkumandang.

            Angin musim panas begitu kasar menerpa wajah-wajah kami. Salah satu alasan kami mempercepat langkah agar segera sampai di station kereta bawah tanah (MTR). Darkonah, perempuan pemilik kaki yang kini melengkapi langkah kami pun mengikuti kami dengan sedikit berlari. Jalan cepat yang harus dikuasai oleh setiap BMI baru di negara ini.

            “Kalau gitu kita bareng, nanti pisahnya di taman kuning dekat MTR,” ujarku girang ketika Darkonah mengatakan daerah tempatnya bekerja, Wong Tai Sin.

            Setelah berpisah dengan Muna dan Lili, aku melanjutkan perjalanan bersama Darkonah. Walaupun baru sejam lalu kami saling mengenal, tak ada pembatas setipis kain jilbab pun antara kami. Darkonah menceritakan semua hal, tidak kecuali alasannya menginjak negara ini.

            Darkonah meninggalkan impiannya, menggantungkan cita-citanya di gerbang sebuah sekolah menengah di kota Malang. Ia memilih menjadi TKW karena ia harus menyelamatkan nyawa bapaknya, menjaga tungku ibunya agar tetap mengepul. Harusnya, Sumina, kakak pertama Darkonah yang menjadi tulang punggung keluarga ketika kedua orangtua mereka tak lagi mampu bekerja. Sayang, saat itu Sumina tengah hamil muda dan suaminya pergi entah kemana.

            Tetesan demi tetesan keringat yang terjun dari tubuh perempuan berwajah bulat dengan rambut ikal yang lebat itu tak lain hanya untuk keluarganya. Ia telah merelakan masa depannya demi orang-orang tercinta. Memperjuangkan hidup orang-orang terkasihnya.

***

            “Fanya…!

            Botol pocari sweet yang kupegang nyaris jatuh karena kaget. Bibir Darkonah bertambah maju dua centi. Rupanya, pertemuan pertama dengannya waktu itu telah membuatku mengabaikan ceritanya hari ini.

            “Aku mesti gimana? Aku gak punya pilihan.”

            Sekali lagi kutarik napas dalam dan panjang. “Kamu lebih tahu yang terbaik untukmu. Lakukan semua demi Allah dan semoga berkah,” ujarku setenang mungkin, meski desah-desah sesal berusaha menyempurnakan diri ditiap kalimatku.

            Perlahan mendung itu sirna dari wajah sahabatku. Meski tak dipungkiri ada keterpaksaan yang mengakar di hatinya. Setelah masa-masa remajanya terlewatkan begitu saja, sekarang ia harus melepaskan cintanya demi keluarga. Sungguh pengorbanan yang besar.

Secara tidak langsung Darkonah adalah pahlawan di mataku. Ia berjuang tanpa senjata demi kemakmuran keluarganya. Perjuangan yang tidak pernah menuntut balasan. Ia tetap berusaha memberi yang terbaik untuk orangtua dan kakak beserta kedua ponakkan kembarnya, meskipun setiap apa yang dilakukannya selalu salah di mata Suminah.

“Aku rela menjadi perawan tua asal keluargaku bahagia, Fa.”

Darkonah memelukku erat sebelum kami berpisah. Beban berat itu dapat kurasakan melalui setiap desah napasnya. Suaranya yang tenang kini bergetar. Menyenandungkan iklasnya untuk tetap bekerja di negara ini.

Kubalas dekapan erat itu. Mencoba menyalurkan kekuatan yang kumiliki untuknya. Untuk sahabatku si pahlawan tanpa tanda jasa.

 

Reviewed by: dian mulyadi

 

tulisan ini sudah melalui proses editing tanpa mengurangi substansinya, disadur dari http://hikari-kagawa.blogspot.hk/darkonah-the-unsung-hero.html?m=1