Pagi itu, matahari di langit Desa Batang-batang Laok, Kabupaten Sumenep, Madura begitu cerah. Hembusan udara pagi yang begitu sejuk setiap hari datang menyapa. Suasana tersebut pun sekaligus menjadi penyemangat Hasanudin (39), dalam menjalankan aktivitasnya sehari-sehari sebagai tenaga pengajar di sebuah sekolah Madrasah Ibtidayah Shibyan, yang berada dekat dengan tempat tinggalnya.
Setiap pukul 07.00 pagi, Pak Udin, demikian sapaan akrabnya sehari-hari ini berjalan tertatih-tatih menuju ke sekolah. Meski mengalami keterbatasan fisik di bagian kedua tangan dan kakinya, semangatnya menebar manfaat, dengan mendedikasikan diri menjadi seorang guru seolah tak pernah padam.
“Meski saya cacat (fisik) di dunia, tapi insya Allah saya tidak akan cacat nantinya di akhirat. Karena ilmu manfaat yang saya berikan untuk anak-anak,” ungkapnya dengan logat Khas Madura.
Sejak tahun 1995, Pak Udin mulai memantapkan hati untuk bergelut dalam dunia pendidikan. Upah yang diterimanya menjadi seorang tenaga pengajar pun tidaklah seberapa dan tidak menentu. Ia mengaku, dalam sebulan, ia hanya menerima hasil jerih payahnya kisaran Rp 150 ribu hingga Rp 200 ribu. Penghasilannya begitu minim memang, namun ia tak pernah sekali pun mengeluh, dan mempersoalkan pendapatan yang diterimanya tersebut. Dengan ikhlas, ia terus menjalani profesinya tersebut dengan niat untuk ibadah.
“Pernah saya dari tahun 1995 sampe tahun 2000 nggak terima upah ngajar. Ya, saya jalani aja, yang penting kan niatnya ibadah,” ucapnya tersenyum.
“Saya rela tidak dibayar, yang penting murid-murid saya tetap semangat untuk belajar,” tambahnya.
Semangat dan spirit atas dedikasi yang ditunjukkan Pak Udin dalam dunia pendidikan, tentu saja membuat Marwiyah, sang istri, turut bangga, dan terus mendukung usaha dan niatan baik yang dilakukan sang suami hingga kini. Dukungan yang diberikan sang istri ini tentu melalui doa-doa yang terus dipanjatkan setiap waktu.
“Alhamdulillah, selama 15 tahun saya menikah dengannya, Pak Udin itu orang yang sangat sabar, pengertian, dan kerja keras. Apalagi dengan kebaikan yang dilakukan selama ini. Insya Allah, saya akan menemani hingga akhir hayat,” ucapnya sumringah, khas dengan logat khas Madura.
Di mata rekan seprofesinya, Pak Udin dikenal sebagai sosok yang tak pernah pantang menyerah. Saat proses belajar mengajar, ia begitu sabar dan penuh semangat, dalam memberikan materi pelajaran bagi anak-anak di kelas.
“Kalo saya boleh mengungkapkan, Pak Udin itu rasanya sudah selayaknya disejajarkan sama dengan Bung Tomo, semangatnya dalam mengajar itu tidak pernah surut. Saya kagum dengannya,” ungkap Asroyo, rekan seprofesi.
Sungguh, kegigihan pak Udin atas dedikasinya dalam dunia pendidikan, membuat masyarakat takjub. Tepuk tangan yang begitu riuh terjadi ketika Pak Udin menerima penghargaan dalam Gelaran Dompet Dhuafa Awards 2015. Penghargaan tersebut bentuk apresiasi yang diberikan Dompet Dhuafa kepada insan-insan yang berdedikasi melakukan perubahan yang lebih baik untuk bangsa Indonesia.
“Tak mudah menemukan sosok seperti Pak Udin yang tetap mendidik anak-anak di kampungnya, meski dengan upah yang sekedarnya dan pernah sama sekali tidak dibayar. Sosok Pak udin menjadi cerminan pahlawan masa kini yang terus menebar manfaat, demi mencerdaskan generasi penerus bangsa,” ujar Ahmad Juwaini, Presiden Direktur Dompet Dhuafa.
Keterbatasan fisiknya, tak menyurutkan derap langkahnya, melaju menyebarkan ilmu yang bermanfaat bagi anak-anak generasi penerus bangsa. Semoga, kisah hidup serta kegigihannya dapat menjadi inspirasi bagi kita semua, tergerak untuk tumbuh bersama memperjuangkan pendidikan yang lebih baik untuk bangsa ini. (Dompet Dhuafa/Uyang)