Geliat Dakwah Sang Nelayan di Pesisir Timur Borneo: Peran (Bagian Dua)

BONTANG, KALIMANTAN TIMUR — “Belum ada pendakwah atau guru ngaji yang menetap di Pulau Tihi-Tihi (salah satu perkampungan terapung di Laut Bontang). Pemahaman agama sejak usia dini di sini, menurut kami juga masih kurang. Sehingga kami terpanggil untuk berdakwah sampai sekarang,” aku Hendra.

Pesan yang tersirat dari seorang sahabat, bagi Ustad Hendra Gunawan (39) memiliki makna mendalam. Selain sebuah hidayah dari Allah SWT, ia juga merasa bahwa setiap insan manusia perlu menjadi lebih baik, tumbuh dan menjalar agar bentuk hijrah terus bermanfaat bagi sesama.

Sembari menyesuaikan karakter masyarakat, ia berbagi dengan tidak menggurui. Hingga salah satunya memberi pemahaman tentang tradisi atau budaya lama yang diluar norma agama agar perlahan dihilangkan. Hendra menjelaskan bahwa di pesisir Bontang, kebanyakan masyarakat masih enggan mengikuti belajar agama melalui tabligh akbar atau ceramah, kecuali ketika khotbah Jum’at rutin.

“Dari hal seperti itu, maka cara dakwah yang kami terapkan lebih kepada pendekatan personal ke personal. Kadang ya juga sambil melaut,” terang Hendra lagi. Menurutnya, menebar dakwah untuk orang banyak dirasa penting. Namun keluarga juga harus diberi pemahaman agar tidak selisih paham antara membagi waktu dengan dakwah, keluarga, juga pekerjaan.

Tahun lalu, hasil penghimpunan program Dompet Dhuafa Australia, berbuah peluncuran tiga buah Perahu Dakwah yang beroperasi di Pulau Sebatik, Kalimantan Utara, dan di sepanjang Sungai Mahakam, juga perkampungan terapung di Selat Makassar Laut Bontang, Kalimantan Timur. Setiap kisah yang datang dari para Dai Cordofa di Perahu Dakwah berbeda-beda.

“Peran kami dan Perahu Dakwah di pesisir Bontang seakan menyatu sebagai mobilitas pendakwah di perkampungan lain. Bermanfaat akan kebutuhan sosial seperti distribusi kebutuhan air bersih warga pulau yang harus dibelinya di darat. Selain itu kami gunakan untuk transportasi warga di kegiatan pengajian dan pernikahan. Bahkan pernah untuk menghantar ibu yang hendak melahirkan,” jelas Hendra.

Siapa saja boleh pinjam pakai, gratis sebagai dakwah. Mengeluarkan biaya hanya sebagai infak untuk penggunaan bahan bakar solar atau perawatan saja. Perahu Dakwah Dompet Dhuafa juga rutin digunakan untuk distribusi zakat dan kurban. Karena kebanyakan warga hanya memiliki Ketinting (perahu ukuran kecil untuk budidaya hasil tangkap d laut), yang tidak dapat mengangkut muatan lebih banyak dan resiko besar jika cuaca kurang baik.

Ya, Hendra pun kerap mengalami berbagai pengalaman tak terlupakan. Perjalanan di atas perahu melintas antarpulau menjadi agenda rutin. Bahkan, kala itu menghadapi badai laut yang ganas terkadang ia hadapi. “Saat itu kebetulan istri lagi ikut. Situasinya matahari sudah terbenam, hujan, angin, dan gelombang laut kencang. Tapi karena warga menunggu distribusi akan kebutuhan air bersih yang kami bawa, bismillah, saya menyebrang,” kenangnya.

Setiap muslim diwajibkan untuk berdakwah sesuai dengan kapasitasnya. Maka dakwah harus menyentuh semua elemen masyarakat dengan berbagai media. Dakwah juga diharapkan bisa menembus segala kondisi dan situasi. Corps Dai Dompet Dhuafa (Cordofa) hadir sebagai jawaban dari kebutuhan masyarakat akan Dai-dai yang siap hadir di segala kondisi. Bahkan melintasi samudera, pulau terluar, dan di tempat yang belum pernah terpikirkan sebelumnya. (Dompet Dhuafa/Dhika Prabowo)