JAKARTA — Usaha pemerintah menekan angka kemiskinan melalui skema alokasi dana desa, pada prakteknya mayoritas terserap untuk proyek infrastruktur. Memperbaiki jalan desa, saluran air, jembatan, dan beragam program fisik lainnya, tidak dapat secara langsung berpengaruh pada peningkatan taraf ekonomi masyarakat.
Alokasi program yang mendorong munculnya aktivitas produktif dalam bidang ekonomi, seperti penguatan UMKM, memperkuat jaringan pasar, dan peningkatan kualitas produk, nyaris bukan menjadi prioritas jatah sumberdaya dan kucuran dana.
“Persoalan kemiskinan di masyarakat harus terespon dengan baik, melalui skema program pemberdayaan. Membutuhkan hal mendasar di program pemberdayaan seperti paradigma inklusif dan berkelanjutan,” ujar Imam Rulyawan, selaku Direktur Eksekutif Dompet Dhuafa, dalam PressCon Hari Pengentasan Kemiskinan Dunia yang digelar pada Kamis (17/10/2019), di Penang Bistro Jakarta.
Sebelumnya, melalui pelaksanaan FGD (Focus Group Discussion) yang dinisiasi oleh Dompet Dhuafa dan ARBI (Arus Baru Indonesia), menghasilkan usulan Pengembangan Ekonomi Kerakyatan yang terdiri atas 8 point, yaitu: Ekonomi Kerakyatan, Kelembagaan, Kemandirian Pangan, Desa Wisata Agro (Dewa), Desa Wisata Industri (Dewi), Desa Digital (Dedi), Dunia Usaha Dunia Industri (Dudi) dan Logistik.
“Jadi, pemberdayaan harus memberikan ruang bagi semua kelompok untuk mengoptimalkan potensi sumber daya yang dimilikinya. Di semesta kemiskinan, sejak 1993 Dompet Dhuafa mencatatkan 19,13 juta jiwa Penerima Manfaat hingga 2018, dengan menyalurkan dana ziswaf (zakat, infak, sedekah dan wakaf) sebesar Rp 2,48 Triliun. Itu menjadi bukti dari kehadiran masyarakat dalam gelombang kebaikan bersama untuk mengentaskan kemiskinan,” lanjutnya. (Dompet Dhuafa/Bani Kiswanto/Dhika Prabowo)