Menilik Asa Giat Didik Pedalaman (Bagian Satu)

Di Balik Dinding Batako Madrasah Dusun Orog Gendang

LOMBOK TENGAH, NUSA TENGGARA BARAT — Kalau tidak ada papan nama yang bertuliskan SDIT (Sekolah Dasar Islam Terpadu) berdiri disana, mungkin kami hampir tidak tahu kalau bangunan berdinding batako itu adalah sebuah sekolah / madrasah Yayasan Fatihul Hadi Botik di Dusun Orog Gendang, Desa Mangkung, Kec. Praya Barat, Kab. Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat.

Berada di kawasan khas pedesaan, SDIT Fatihul Hadi Botik berhadapan langsung dengan hamparan sawah. Tentunya masih jalur tanah, beberapa genangan air hujan hari kemarin juga masih menyisa. Langit cerah kala itu (Kamis, 12/11/2020). Beberapa juga terlihat perbukitan dan pohon-pohon kelapa yang menjulang tinggi. Pantai Selong Belanak yang mulai ramai wisatawan dan terkenal dengan keindahan pasir putih, sunset, juga barisan kerbaunya, bahkan tidak jauh lokasinya dari sana.

Hanya ada 2 (dua) ruangan untuk keseluruhan siswa berjumlah 32 orang saja di sekolah itu. Ya, 2 ruangan yang berfungsi sebagai kelas utama, dan masing-masing kelas terbagi 2 lagi dengan sekat papan triplek yang tidak penuh menutupi ruang kelasnya. Cuma sebagai pembatas fungsinya. Bahkan jika kita melihat dari sisi tengahnya, diantaranya terpampang sebuah foto Presiden Republik Indonesia 2019-2024 di sebelah kiri dan sisi satu lagi masih foto Wakil Presiden RI periode sebelumnya.

“Bagaimana bisa para guru mengajar puluhan siswa dan belajar di dalam 1 (satu) ruangan dengan lebih dari 2 kelas tergabung pada salah satu sekatnya?” pikir kami saat berkunjung di SDIT Fatihul Hadi Botik pada hari pertama itu.

Di depan salah satu ruang kelas ada sebuah meja kayu persegi, ternyata itu ruang khusus guru berkumpul. Ya, tergabung juga dengan para orang tua murid yang menunggu anaknya selama jam pelajaran berlangsung. Jadi para orang tua dapat dengan jelas menilik dan mendengar anaknya belajar dari sebuah jendela tanpa kaca itu. Di halaman sekolah ada sebuah sumur tapi belum ada toilet di SDIT Fatihul Hadi Botik.

Masuk lebih dalam, mendapati sebuah hiburan tersendiri bagi kami ketika melihat coret-coretan tangan para siswa di meja, kursi, dan pintu triplek. Menjadi karya seni khas sekolah dasar yang hampir semua dari kita pernah alami. Tapi mungkin tidak dengan dinding batako yang berlubang besar, beralaskan plester semen, beratapkan asbes, kursi dan meja belajar yang rapuh, pun beberapa buku pelajaran kusam dengan kurikulum lama di sudut ruang yang terbias cahaya matahari bocoran lubang pada batako itu. Fasilitas belajar seadanya, apalagi pendingin ruangan seperti AC (Air Cooler) di tengah teriknya matahari di pulau nan eksotis itu.

Tiba jam 1 siang, Ustaz Jayadi (34), Pembina dan Kepala Madrasah SDIT Fatihul Hadi Botik, bersama para guru mempersilahkan kami beristirahat dengan ramah. Sekaligus menyantap salah satu menu khas Lombok, Nasi Balap Puyung beserta Sayur Bening Daun Kelor dan teh hangat yang telah tersaji, sembari berkisah awal mula ia dan para guru memulai perjalanan mulia mendirikan madrasah tersebut.

“Awal mulai itu terbangun tahun 2010-2011. Belum pakai batako, ini baru. Jadi cuma pakai papan-papan triplek saja semua. Setelah mulai berdiri, angkatan pertama siswa hanya 20 murid, kemudian angkatan berikutnya masuk lagi 12 murid. Sekarang kelas 1 sampai 6 ada 70 murid,” seru Ustaz Jayadi.

“Tanah sekolah ini juga hasil wakaf, dihibahkan oleh ayah saya seluas 500 meter. Sekolah ini berdiri juga banyak peran swadaya dari masyarakat. Karena banyak yang bekerja sebagai tukang bangunan maka masyarakat bergotong royong mendukung ikut membangun, juga menyumbang material bahan bangunan,” sambungnya.

Kami pun bergumam, tidak sabar menanti untuk segera bertemu siswa SDIT disini keesokan hari. (Dompet Dhuafa / Dhika Prabowo)