IDEAS Talk Dompet Dhuafa Gelar Forum Diskusi Utopia Reforma Agraria

JAKARTA — Dompet Dhuafa melalui IDEAS (Indonesia Developtment and Islamic Studies) kembali menggelar forum diskusi kebijakan publik, IDEAS Talk, pada Selasa (15/10/2019). Bertempat di kedai Bakso Boedjangan Cabang Pejaten, Jalan Warung Jati Barat, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, gelaran rutin bulanan tersebut, membahas isu dan tema ‘Tanah Untuk Rakyat – Utopia Reforma Agraria’.

RUU Pertanahan tiba-tiba menghentak publik, karena nyaris disahkan oleh DPR pada 24 September 2019. RUU tersebut, secara ironis lebih banyak didorong oleh kepentingan kapital besar dan menguntungkan bisnis di atas hak rakyat. Seperti pengingkaran terhadap hak ulayat masyarakat, kriminalisasi bagi rakyat yang mempertahankan tanahnya dari penggusuran, memfasilitasi akuisisi lahan skala besar oleh korporasi hingga pendirian bank tanah yang akan menjadikan tanah sekedar komoditas pasar.

Dalam pemaparannya, Firdha Amalia dan Meli Triana, selaku Peneliti IDEAS, mengatakan krisis agraria di Indonesia terlihat dari banyak dimensi seperti ketimpangan struktur kepemilikan tanah yang sangat tajam, konflik agrarian yang massif dan persisten, laju kerusakan ekologis yang semakin cepat dan luas, alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian yang tidak terkendali, serta besarnya kasus kemiskinan yang berasosiasi dengan ketiadaan lahan produktif bagi masyarakat kelas bawah.

“Politik agrarian UU No. 5/1960 adalah populisme. Dimana hak milik individu diakui, namun harus memiliki fungsi sosial. Petani mudah jatuh pada jebakan hutang yang memaksa mereka menjual asset produktif mereka,” jelas Firdha.

Dengan demikian, kebijakan pertanahan nasional harus berpihak dan melindungi hak rakyat atas tanah. UU No. 5/1960 tentang Pokok-pokok Agraria mengartikulasikan hal tersebut, dengan konsep ‘fungsi sosial’ dari tanah. Secara sosial-ekonomi, tanah adalah faktor produksi penting untuk ketahanan pangan dan penanggulangan kemiskinan. Karenanya mencapai pemerataan lahan adalah krusial untuk alasan efisiensi dan keadilan.

“Kebijakan pertanahan seharusnya mewujudkan kesejahteraan reforma agraria, minimal terlindungi. Misalnya sistem kemitraan inti plasma adalah salah satu solusi dari pemerintah. Alangkah baiknya jika system tersebut merupakan satu komando management agar caranya merata,” lanjut Firdha.

Yusuf Wibisono, selaku Direktur Eksekutif IDEAS Dompet Dhuafa juga mengatakan, “Seperti kasus Petani Teluk Jambe, Karawang, dan Petambak Bratasena, Tulang Bawang, Lampung. Dompet Dhuafa melakukan pendampingan warga Teluk Jambe sejak mereka tinggal untuk aksi demo di kantor LBH Jakarta, Psikososial Anak, diskusi dan pemutaran film di Rumah Aman Kontras Jakarta, Aksi Layanan Sehat, juga turut memulai peradaban membangun masjid pertama di lahan relokasi Teluk Jambe, buah dari kebaikan para donatur”.

Proses akumulasi capital primitive yakni petani berubah menjadi buruh dan kekayaan alam, termasuk tanah, menjadi alat produksi kapitalis. IDEAS mengidentifikasi, setidaknya terdapat 168 investor besar yang melakukan akuisisi lahan skala besar di atas 100 hektar di sektor pertambangan, kehutanan dan perkebunan sawit.

“Reforma agrarian memiliki tujuan utama untuk menurunkan kemiskinan dengan meningkatkan kepemilikan lahan si miskin. Kami pun ingin mengingatkan pada publik bahwa ini adalah bahaya besar jika polanya terus berulang,” tutup Yusuf Wibisono. (Dompet Dhuafa/Dhika Prabowo)