BOGOR — Terdapat sekolah menengah akselerasi berasrama dengan biaya gratis untuk anak-anak marjinal di Parung, Bogor. Tepatnya di Desa Jampang. SMART Ekselensia Indonesia namanya. SMART Ekselensia Indonesia berdiri sebagai bentuk kepedulian dan langkah nyata Dompet Dhuafa dalam upaya mengentaskan kebodohan, serta memutus rantai kemiskinan. Siswa-siswa SMART berasal dari berbagai daerah dan provinsi di Indonesia, dari Sumatera hingga Papua. Fajar Irianto salah satunya.
Anak kelahiran Timika Baru, Kabupaten Mimika, Papua tersebut, kini menginjak tahun kelima duduk di bangku SMART. Fajar sapaannya, adalah anak ketiga dari empat bersaudara. Fajar menjadi salah satu anak paling beruntung dibanding saudara-saudaranya. Menurut ungkapannya, hampir saja seluruh keluarganya putus sekolah. Beruntung dirinya dipertemukan oleh guru SD-nya, Embun Fajar kepada utusan Lembaga Pengembangan Insani (LPI) Dompet Dhuafa saat itu.
“SD saya dulu di Inpres Timika 2. Setelah lulus, saya dikasih tahu kalau ada sekolah gratis di Jakarta. Setelah itu ada kemungkinan mendapat beasiswa kuliah juga,” ungkapnya.
Setelah melalui proses seleksi panjang, akhirnya Fajar lulus seleksi dan diterima di SMART Ekselensia Indonesia. Belum berakhir perjuangan Fajar sampai di sana. Ia harus merancang berbagai alasan kepada orang tuanya. Berharap mendapat izin untuk harus jauh dari mereka. Pendidikan di kalangan keluarga Fajar memang tidaklah menjadi prioritas. Selain kakak-kakaknya juga putus sekolah, biaya untuk hidup pun juga terbatas.
Sampai di asrama, suasana asing tentu dirasakan Fajar. Dua belas tahun hidup bebas di Papua, sangat berbeda dengan SMART Ekselensia. Namun, semangat tinggi membuatnya mudah berbaur dengan para guru dan siswa. Apa yang dijanjikan Dompet Dhuafa memang nyata baginya. Tempat tinggal asrama, lingkungan nyaman, banyak fasilitas, pendidikan berkualitas, guru berintegritas, juga teman dengan tinggi loyalitas.
Simpel yang diinginkan Fajar. Menempuh pendidikan tinggi, manaikkan derajat sosial dan ekonomi. Sehingga mampu membawa keluarga ke kampung halaman lagi.
“Orang tua, dulu di sana rantauan dari Malang. Keluarga bapak dan ibu semuanya asli orang Malang. Waktu itu katanya merantau ke Papua. Setelah itu malah nggak bisa pulang, jadi netap di sana. Sekarang kerjaannya jualan, warung ayam penyet. Keadaan ekonomi di sana akhir-akhir ini sedikit miris sih. Karena daerahnya juga sekitar kawasan pabrik, jadi ketimpangannya lumayan tinggi juga,” terangnya. (Dompet Dhuafa/Muthohar)