Jelajah Kurban Nusantara: Daging Kurban Pertama Setelah Gempa (Bagian Satu)

SIGI — Fajar menyingsing, warga Lolu besiap berkumpul di tanah lapang. Beberapa diantaranya sengaja membawa pisau, bekal mencacah daging kurban. Truk sapi sebentar lagi sampai, membawa 11 ekor untuk disembelih pada senin (12/8/2019). Perjalanan saya di Palu, berlanjut pada hari tasyrik pertama, bersama warga menyembelih hewan kurban.

“Tidak sabar ini kak, saya ingin potong daging,” terang salah satu warga yang sudah bersiap dari pagi.

Dompet Dhuafa sendiri menyembelih sebanyak 21 ekor Sapi dan empat ekor kambing pada kesempatan Tebar Hewan Kurban (THK) di wilayah Palu, Sigi, dan Donggala tahun ini. Dari jumlah tersebut, 11 ekor sapi diantaranya akan disembelih pada hari Senin (12/8/2019), sedangkan sisanya akan disembelih pada hari tasyrik ketiga, pada Rabu (14/8/2019). Menyembelih 11 ekor sapi bukanlah pekerjaan yang mudah, namun dengan gotong-royong warga, semua itu menjadi menyenangkan.

“Itu kau Tarik kuat ekornya,” teriak Anwar (47), penjagal sekaligus komandan sembelih yang mengarahkan kami semua hari itu.

Saya berkesempatan untuk membantu warga memotong kurban. Beberapa diantaranya diberikan tugas masing-masing. Anwar bertugas untuk menyembelih, dibantu belasan yang lain untuk melumpuhkan sapi. Selesai disembelih, anwar memastikan dulu bahwa sapi benar-benar telah mati. Setelah itu, giliran warga yang bertugas menguliti, Sembari yang lain melanjutkan melumpuhkan sapi selanjutnya. Begitu seterusnya hingga sapi ke-11. Belasan lainnya, bersiap mencacah daging dan tulang, sekaligus pembungkusan. Sedangkan di sudut, tak jauh dari lokasi penyembelihan, ada warga yang bertugas memasak Kaledo (makanan khas Palu) untuk obat lelah warga yang bergotong-royong.

“Alhamdulillah,” terang Anwar menyelesaikan tugasnya dengan menyembelih sapi ke-11 kalinya.

Pukul 16.00 WITA, warga masih sibuk mencacah daging dan tulang, ditimbang lalu dibungkus rapi di wadah tonda (besek). Ratusan bungkus daging kurban sudah siap untuk diditribusikan. Sedangkan di sudut sana, aroma khas kaledo sudah sedap tercium. Namun, ada 147 paket kurban yang kami salurkan ke warga penyintas.

“Tidak lama kok mas Zul, jaraknya tidak jauh juga,” jelas Citrawan, mencoba menghibur saya. Sejenak saya tahan hasrat pada kaledo yang nayris matang. (Dompet Dhuafa/Zul)