BENGKAYANG, KALIMANTAN BARAT — “Dulu kesini bareng-bareng. Tahu-tahu pulang sendirian,” celetuk Pak Ijo (79), ketika membicarakan kenangannya bersama sang istri, pada Minggu (11/8/2019).
Pak Ijo merupakan generasi pertama arus transmigrasi yang digencarkan pada media 1980-an. Ikut merayakan Hari Raya Iduladha kali ini di usianya yang hendak menginjak 80 tahun. Bersama anak bungsu dan cucunya.
“Biasanya kakek sehari-hari sendiri. Kadang anak-anak juga masih menjenguk. Namun yang paling sering sih si bungsu. Karena masih tinggal dekat sini,” tambah Pak Ijo, selaku penerima manfaat THK 2019 Bengkayang, Kalimantan Barat.
Sudah tiga tahun beliau menduda, semenjak kematian sang istri akibat penyakit jantung. Hal tersebut juga berpengaruh pada kondisi Pak Ijo.
“Rindu dengan ibu. Kadang malam tidak bisa tidur. Baring-baring tapi tidak tidur. Mata merem, tapi hati buncelik,” lanjut Pak Ijo.
Dulu selagi tubuh Pak Ijo masih kuat, beliau masih suka ke ladang sambil bercengkrama dengan penduduk sekitar yang berpapasan hendak ke ladang. Namun sekarang, karena sudah kurang sehat. Akhirnya membuat Pak Ijo menetap sehari-hari di rumah.
“Dulu kerja di kebun teh, di Gunung Cikuray, Garut. Di sini sempat juga urus teh tapi beralih ke lada. Karena di sini sedari dulu paling banyak lada. Tapi sekarang sudah nggak, sudah nggak kuat,” jelas Pak Ijo.
Di usia tuanya, yang mulai membebani tubuh Pak Ijo. Beliau masih berharap bisa menyaksikan anak dan cucunya berkembang. Sambil juga menjumpai hari Raya Idul Adha yang akan datang.
“Harapannya sih masih panjang. Tapi kalau sudah gini memang dek. Setiap siang hari tubuh kakek jadi dingin. Lalu jam 5 sore, badan tiba-tiba menjadi panas. Kalau malam suka kesemutan. Heran penyakit kakek. Entahlah penyakit apa. Kadang kakek sering nangis sendiri kalau malam,” tutup Pak Ijo, melayangkan tatapan kosong. (Dompet Dhuafa/Fajar)