Jurus Jitu Atasi Hama Padi, Desa Sumber Harjo Dirikan Karantina Burung Hantu

BANGGAI, SULAWESI TENGAH — Pemanfaatan burung hantu sebagai predator alami untuk memberantas hama tikus yang menyerang lahan pertanian kian banyak diterapkan. Keberadaan burung hantu kini menjadi sahabat petani untuk mengendalikan populasi tikus di area persawahan.

Inilah yang menjadi inspirasi bagi seorang Baron Hermanto selaku Kepala Desa Sumber Harjo untuk mengembangkan program Karantina Burung Hantu di wilayahnya. Desa yang memiliki sebagian besarnya adalah area persawahan ini menjadikan burung hantu sebagai strategi jitu berbasis ekologi yang mampu meminimalisir populasi hama utama padi yaitu tikus.

“Sebagian besar Desa Sumber Harjo adalah area persawahan, mayoritas masyarakat di sini juga merupakan petani. Untuk itu kami harus merancang strategi agar hama seperti tikus tidak menyerang padi-padi milik warga salah satunya menggunakan burung hantu ini,” jelas Baron.

Burung hantu yang dikembangkan dalam program ini adalah jenis Serak Jawa (Tyto Alba) spesies burung berukuran besar (34 cm), mudah dikenali sebagai burung hantu putih. Di alam bebas, rumah burung hantu (rubuha) berada di atas ketinggian mengakibatkan anak dari burung hantu tersebut kerap ditemukan terjatuh di area persawahan. Karantina burung hantu Desa Sumber Harjo fokus untuk melakukan perawatan terhadap burung hantu yang terjatuh untuk dimanfaatkan oleh petani saat sudah dewasa.

“Karantina Tyto Alba adalah sebuah program perawatan jenis burung hantu yang terjatuh dari rumahnya di area sawah. Rubuha atau rumah burung hantu yang cukup tinggi, terkadang tidak sedikit anak atau bayi burung hantu yang baru berjalan kemudian didapati terluka di bawah,” papar Baron.

Desa Sumber Harjo, Kecamatan Moilong, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah, merupakan salah satu penerima manfaat dari Sekolah Pemberdayaan Desa bersama Pertamina-Medco E&P Tomori Sulawesi bekerja sama dengan IMZ Dompet Dhuafa. Program penguatan kapasitas penggerak desa untuk keberdayaan ekonomi desa. Bermodalkan ilmu yang didapat dari Sekolah Pemberdayaan Desa, Baron dan rekan-rekan lainnya mulai untuk belajar serta mengembangkan program ini.

Satu ekor burung hantu atau 1 rubuha, diperhitungkan mampu menjaga sawah dengan luas 5 (lima) hektare. Kemampuan penglihatan dan pendengaran burung hantu yang kuat membuat ia begitu cepat untuk memburu tikus disela-sela persawahan.

“Burung hantu itu sangat sensitif dan tiap daerah punya jenisnya serta perkembangan habitatnya sendiri-sendiri. Varian di Jawa dan Sulawesi berbeda, oleh karena itu harus dikembangkan dari asal daerah terdekat,” pungkasnya. (Dompet Dhuafa / Sulteng)