AMBON — Seperti biasa, setiap pagi bila tidak melaut, Wardi (37) pergi ke kebun. Anak pertamanya masih baru saja masuk kelas untuk belajar di sekolah. Istri dan anak keduanya, menunggu di rumah. Tiba-tiba getaran datang, bunyi keras seperti ledakan membuat istri Wardi panik. Naluriah, istrinya langsung membawa anaknya keluar. Entah bagaimana, dalam hitungan detik, rumahnya roboh, utuh satu rumah tanpa ada sisa yang berdiri.
“Saya masih di jalan, masih pagi dan istri dan anak di rumah. Terguncang saya bersama teman-teman, jalan terbelah. Ketika saya pulang, rumah sudah roboh. Alhamdulillah semua keluarga saya selamat,” terang Wardi, menceritakan kisah pilu saat gempa mengguncang Ambon, pada Kamis (26/9/2019).
Desa Liang, tempat tinggalnya merupakan wilayah terdampak parah bencana tersebut. Hampir 60% bangunan di desa terbesar di Pulau Ambon tersebut rusak parah. Seperti halnya yang dialami oleh Wardi, sebanyak 3.279 kepala keluarga terpaksa mengungsi ke tempat yang lebih aman. Tenda kecil sederhana berbahan terpal menjadi hunian sementara. Wardi sendiri menghuni tenda berukuran 4×10, dan dihuni 3 keluarga lainnya.
“Kita huni sama-sama dengan keluarga besar. Sekitar empat keluarga yang menghuni tenda,” terangnya.
Sebuah fakta pilu, bagi Wardi rumah yang telah ia bangun lima tahun belakangan hasil keringat mencari ikan sirna seketika. Kapal yang jadi satu-satunya alat mencari nafkah, juga hanyut ketika gelombang air yang sempat bergejolak saat gempa.
“Tujuh tahun saya melaut dengan kapal itu. Semua alat ada di sana. Tapi bagaimana kalau takdir Allah berkata demikian. Saya cuma harapkan agar kapal itu ditemukan oleh nelayan lain, bisa dimanfaatkan berlaut kembali,” akunya.
Dompet Dhuafa sendiri telah melakukan berbagai intervensi kepada pengungsi di Desa Liang. Pos hangat dan Taman Ceria menjadi salah satu intervensi paling diminati warga. (Dompet Dhuafa/Zul)