Kelas Menengah Indonesia

“Setiap generasi baru membutuhkan langkah (strategi) baru” (Thomas Jefferson)

Indonesia terus mengukuhkan jati dirinya sebagai negara yang mengalami pertumbuhan ekonomi yang cukup signifikan selama kurun waktu 1999 – 2009.  Tembusnya GDP perkapita Indonesia ke angka $3000, menjadi sebuah momentum yang berharga bagi sebuah negara karena begitu angka tersebut terlampaui, maka sebuah negara menikmati pertumbuhan ekonomi yang signifikan. Hal ini dialami oleh beberapa negara kuat dalam ekonomi yaitu China,India,Korea Selatan dan Brazil.

Terlewatinya GDP perkapita $3000 per tahun pada tahun 2010, membuat penduduk “kelas menengah” (middle class) Indonesia bertumbuh pesat.  Banyak versi tentang definisi kelas menengah, namun yang dirasa cukup relevan oleh saya adalah definisi menurut Asian Development Bank (ADB) tahun 2010 yaitu mereka yang memiliki rentang pengeluaran perkapita sebesar $2-20.  Rentang pengeluaran ini dibagi lagi menjadi 3 kelompok yaitu masyarakat kelas menengah bawah (lower middle-class) dengan pengeluaran perkapita per hari $2-4, kelas menengah tengah (middle middle-class) sebesar $4-10 dan kelas menengah atas (upper middle-class) sebesar $10-20.

Data yang dilansir oleh Center for Middle Class Consumer Studies (CMCS) pada Indonesia Middle-Class Consumer Report 2013 bahwa kenaikan kelas menengah Indonesia mencapai 8-9 juta penduduk per tahun, dimana dengan rentang penghasilan demikian dapat dikatakan bahwa penduduk kelas menengah Indonesia sudah menyentuh angka sekitar 130 juta jiwa. Angka yang mencengangkan dan kerap menjadi bahan diskusi para pengamat ekonomi beberapa waktu ini.  Mungkin kita juga merasakan dampaknya; bandara yang penuh sesak, kedai kopi yang selalu full, konser musik yang tak pernah sepi,penjualan perdana gadget canggih yang antriannya mengular dan fenomena lainnya

Menariknya, selain gaya hidup, pola pikir dan pola konsumsi, maka pengelolaan keuangan merupakan aspek yang rupanya sangat diperhatikan dalam menjalankan roda kehidupan pada penduduk kelas menengah ini.  CMCS (2013) mengeluarkan data bahwa kebutuhan dasar penduduk kelas menengah menempati urutan tertinggi yaitu sebesar 40,6%, disusul dengan pengeluaran yang bersifatinvestasi,tabungan dan asuransi sebesar 25,9%, pengeluaran komunikasi berupa telpon dan internet sebesar 11,1%.

Sementara untuk cicilan hutang seperti rumah,mobil,kartu kredit sebesar 9,0%, lalu untuk rilex dan hiburan 7,7%. Menariknya bahwa kelas menengah ternyata juga memiliki kepedulian kepada sesama. Ini ditunjukkan dengan alokasi anggaran sebesar 5,4% yang dikeluarkan dari setiap penghasilan perbulan untuk ZAKAT dan Sumbangan Sosial lainnya

Sebagai penduduk muslim terbesar di Dunia, merujuk sensus penduduk yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Mei 2012 bahwa dari 237,6 juta jiwa penduduk Indonesia, 87,1 beragama Islam atau sebesar 207,2 juta jiwa dan dari jumlah tersebut terdapat kelompok penduduk kelas menengah yang merupakan masyarakat pembayar zakat atau Muzakki (orang yang membayar Zakat).

Ketika zakat menjadi salah satu instrumen kebajikan para kelas kelas menengah ini, maka ketika itu pula lembaga penghimpun dana zakat dan yayasan sosial lainnya dapat mengoptimalkan cara menghimpun dana masyarakat dengan lebih kreatif, elegan dan terencana.  Sifat kelas menengah yang serba praktis, simpel tapi kritis menjadi sebuah tantangan tersendiri untuk menaklukannya, ayo rangkul mereka.