KUTAI KARTANEGARA — Usia tidak muda lagi, tetapi semangatnya masih membara saat dirinya bercerita kepada tim Dompet Dhuafa Kalimantan Timur dan Dai Nusantara dari Corps Dai Dompet Dhuafa (Cordofa), perihal perjalanan hidup berkelana ke berbagai negara, sebagai pelaut muda dari Kutai Kartanegara. Laut China Selatan biasa ia jelajahi bersama teman sebayanya, melalui Brunei, semenanjung Malaya, Filipina, Vietnam, Hong Kong, bahkan sampai Negeri Sakura. Hingga pada tahun 1970-an, ia hijrah ke pedalaman Kutai, untuk mencari nafkah sembari berdakwah. Ya, ia adalah Aji Sulaiman (75), seorang yang sangat dihormati oleh masyarakat di Kutai Barat saat ini. Perjuangannya dalam “babat alas” mensyiarkan Islam di pedalaman Kutai, khususnya daerah Barang Tongkok, pantas untuk kita apresiasi.
“Dahulu, tahun 1970-an, daerah ini merupakan pedalaman yang belum banyak terjamah oleh pendatang. Sampai kemudian saya memberanikan diri menikah dengan salah seorang puteri cucu dari kepla Suku Dayak Tunjung pada tahun 1978. Konsekuensi dari pernikahan tersebut harus saya hadapi dengan perjuangan, sebab tiada lain adalah perbedaan keyakinan,” ujar Aji Sulaiman, kepada tim Dompet Dhuafa Kalimantan Timur.
Apalagi saat Aji berikhtiar untuk mensyiarkan Islam di pedalaman Kutai, sesuai dengan pemahaman dan keyakinan dirinya bahwa dakwah adalah kewajiban setiap muslim. Aji sendiri masih keturunan dari kesultanan Kutai Kartanegara, “Aji” merupakan gelar kebangsawanan bagi keturunan kesultanan Kutai Kartanegara, namun dengan begitu bukan berarti dia harus congkak akan gelarnya. Ia lebih memilih tinggal dari lingkungan keluarga besarnya dan memilih tinggal di pedalaman untuk berdakwah.
Niat baik dan ketulusan hati Aji dalam mensyiarkan Islam tidaklah mudah. Bahkan tantangan berat yang ia hadapi adalah dari keluarga istrinya. “Tahun 1980-an, saat kami telah memiliki anak pertama, kami dihadapkan kecaman oleh nenek dari istri yang saat itu menjadi kepala suku. Bahkan bersama anggota suku lainnya, nenek dari istri kami berusaha ingin membunuh dengan sebilah parang yang telah menempel di leher saya. Pasrah dan tawakkal ‘alallah yang bisa saya lakukan saat itu,” tambahnya.
Bersyukur pembelaan dari sang istri menuai hasil. Akhirnya rencana tersebut digagalkan, dan Aji masih diberi kesempatan hidup walaupun perjalanan syiar Islam yang ia lakukan masih terus menghadapi tantangan dari masyarakat dayak yang mayoritas berbeda keyakinan. Hingga akhirnya, perjuangan beliau untuk mendirikan masjid di daerah Geleo Baru, menjadi kenyataan. “Puluhan tahun pembinaan Muallaf saya lakukan di rumah saya, dan akhirnya keluarga dibantu swadaya masyarakat turutserta dalam pembangunan masjid ini. Memang masjid ini sangat sederhana, namun berharap bisa menjadi pusat pembinaan muallaf,” pungkas Aji.
“Selain swadaya masyarakat, alhamdulillah ada perseorangan dan lembaga yang turut membantu juga dalam proses pembangunan masjid ini. Seperti halnya Dompet Dhuafa Kalimantan Timur yang pada Sabtu (18/11), menyerahkan kubah Masjid dan bantuan material. Selain itu juga men-support pembinaan muallaf melalui Dai Cordofanya sejak 2015. Semoga Allah membalas amal ibadah para donatur dan amilnya,” pungkasnya.
Alhamdulillah di Masjid Nurul Iman ini, Aji Sulaiman dibantu Ustadz Thabi’i dan Ustadz Asrari Dai Nusantara Cordofa untuk mensyiarkan dakwah dan pembinaan muallaf yang saat ini kurang lebih berjumlah 60 jiwa dari kampung Geleo Baru, Geleo Asa, dan Ongko Asa, Kecamatan Barang Tongkok, Kabupaten Kutai Barat. Mereka saat ini hidup damai dalam kebersamaan dengan masyarakat lain yang berbeda keyakinan. (Dompet Dhuafa Kalimantan Timur)