KOREA SELATAN — Berbeda dengan Indonesia, memasuki hari ke 5 Ramadhan 1439 H, durasi puasa yang dilalui WNI di bagian utara Korea Selatan, menghabiskan waktu 16 jam 9 menit. Mereka mulai menjalankan puasa sejak terbit fajar pada pukul 03.33 dan baru ifthar pukul 19.42 waktu Korea. Jauh lebih lama dengan puasa yang dijalani oleh rata-rata masyarakat muslim di Indonesia.
Menurut informasi yang kami terima, WNI yang berjumlah sekitar 38 ribu orang di Korea Selatan, umumnya bekerja di bidang manufaktur dan durasi kerja mereka tetap normal sepanjang Ramadhan. Tidak ada keringanan pengurangan jam kerja. Mereka masuk bekerja pukul 08.00 pagi dan berakhir pukul 18.00 sore hari. Tidak termasuk lembur.
Di Korea Selatan, pekerja manufaktur banyak berasal dari luar negeri gingseng. Indonesia salah satu pemasok tenaga kerja terbesar yang menyebar di banyak pabrik di Korea Selatan. Mereka umumnya laki-laki. Kontrak kerja di Korea Selatan berjalan selama 4 tahun 10 bulan dalam satu ikatan kontrak kerja.
Meskipun hidup di tengah masyarakat Korea Selatan yang belum banyak menganut agama Islam, mereka tetap berupaya menjalankan agama semaksimal kemampuan mereka. Agar nyaman beribadah, sampai saat ini sudah 59 masjid yang diinisiasi dan dikelola oleh WNI di Korea Selatan. Lima masjid sudah berbentuk bangunan permanen dan terpisah dengan bangunan lain. Sisanya masih berupa aula luas yang disewa di lantai apartemen-apartemen.
Dalam sebuah sesi tanya jawab pengajian Ramadhan di Masjid Al-Ikhlas Kota Yongin, Kawasan Gyeonggi Do, Ustadz Alnof Dinar, Dai Ambassador Cordofa ditanya oleh salah seorang jamaah, “Ustadz, saya bekerja di bidang manufaktur dan tuntutan kerja di siang hari cukup berat, terutama durasi waktu puasa lebih dari 16 jam, apa boleh saya batalkan puasa saya di siang hari? Di sini kita rata-rata bekerja di pabrik dengan tuntutan pekerjaan yang lumayan berat dan jam kerja yang ketat”.
Ustadz Alnof Dinar, sempat terdiam mendengarkan pertanyaan dari pemuda berumur sekitar 27 tahun dan memperhatikan si penanya agak lama. Karena bagi Ustadz, jangankan bekerja berat, menjalani puasa dengan durasi 16 jam 9 menit tanpa bekerja sudah terasa berat. Memerlukan kesabaran yang ekstra. Apalagi bekerja berat di pabrik-pabrik.
Ustadz Alnof lalu mulai menjawab dengan perlahan dan hati-hati menjelaskan perkara fiqh memerlukan solusi kongkret bagi WNI, yang umumnya bekerja di bidang manufaktur tersebut. Ustadz Alnof mengawali jawabannya dengan memaparkan sebuah kaidah dalam beribadah, bahwa pahala ibadah dibalas oleh Allah sesuai dengan tingkat kesusahan seorang hamba dalam menunaikan ibadah. Semakin berat penderitaan untuk menunaikan sebuah ibadah, semakin besar pahala yang akan didapat oleh orang yang beribadah.
Mengutip pejelasan Al-Sayyid Ahmad bin Umar al-Syatiri di dalam Kitab Nail al-Raja’ Syarh Safinah al-Naja, Ustadz Alnof melanjutkan;
“Pekerja berat boleh tidak berpuasa di bulan Ramadhan ketika mengalami kondisi yang sangat haus dan lapar, dan puasa wajib diqadha’ di luar bulan Ramadhan, dengan ketentuan; 1. Pekerjaannya tidak bisa ditunda pengerjaannya sampai setelah Ramadhan, 2. Pekerjaannya tidak bisa diundur pengerjaannya di malam hari, 3. Dia merasakan beban yang sangat berat dengan bekerja dalam keadaan melaksanakan puasa yang sudah melebihi kemampuan standar manusia mampu menanggungnya, 4. Dari malam hari sudah berniat puasa dan berpuasa sejak pagi hari, 5. Berniat mengambil rukhshah ketika membatalkan puasa, 6. Tidak meniatkan dengan sebab pekerjaannya dan beban dirinya agar dapat rukhshah dengan ifthar puasa.”
Sang penanya mencoba mencerna penjelasan Ustadz dan menganalisanya dengan senyun yang terpaksa dan kening penuh kerutan. Karena sebenarnya tidak mudah mempraktekkannya. Namun karena kekuatan iman dan keinginan untuk tetap taat, penanya tadi menyampaikan kepada Ustadz; “saya berjanji akan sempurnakan puasa saya selama Ramadhan meski bekerja berat dan durasi puasanya lama, doakan saya agar tetap tegar ustadz,” tutup si penanya. (Dompet Dhuafa/Alnof Dinar/Dai Ambassador Cordofa)