JAKARTA — Saya percaya potret kemiskinan dan ketidaberdayaan masyarakat dapat terlihat dari potret perempuannya. Sama halnya ketika melihat tragedi RA Kartini. Kartini adalah tokoh yang mendorong emansipasi dan perjuangan hak-hak perempuan. Surat-suratnya yang terangkum dalam Habis Gelap Terbitlah Terang, mendorong perempuan untuk terus memperjuangkan hak-haknya.
Apa daya, pejuang emansipasi tersebut harus meninggal di tangan preeklampsia di usia 25 tahun. Preeklampsia adalah sindrom meningkatnya tekanan darah saat melahirkan. Itu terjadi di September 1904, kala melahirkan anak pertamanya, Raden Mas Soesalit Djojoadhiningrat.
Terlepas dari benar atau tidaknya dan spekulasi terkait penyebab kematian RA Kartini. Pukulan telak menyasar bangsa ini, karena tidak mampu mempertahankan kehidupan seorang yang menyinari bangsa, di usia 25 tahun. Di situlah dapat terlihat bahwa di bawah penjajahan kala itu, bangsa ini miskin, tidak berdaya.
Lepas seabad, nyatanya nasib perempuan terkait kesehatan belum juga membaik. Angka kematian ibu menurut Kementerian Kesehatan dari 4.999 di 2015 menjadi 4.912 di 2016, dan di 2017 sebanyak 1.712 kasus. Kematian tersebut bukan hanya preeklampsia. Beberapa kasus seperti kurangnya asupan nutrisi, KEK (Kekurangan Energi Kronis) pada ibu hamil, anemia saat kehamilan dan kasus-kasus lainnya dapat menyebabkan berbagai masalah. Masalah tersebut dapat berimplikasi semisal kasus BBLR (Berat Bayi Lahir Rendah) yang dapat mengancam nyawa ibu dan anak.
Bukan hanya kematian, David E Bloom dan kawan-kawan, yang menyarikan penelitian-penelitian dalam kurun waktu 30 tahun terkait pembangunan ekonomi dan kesehatan perempuan, menemukan adanya keterkaitan antara dua faktor tersebut. Kesimpulannya, kesehatan perempuan yang adekuat dapat meningkatkan pembangunan sumber daya manusia, kemudian berlanjut pada ekonomi.
Menyadari itu, dunia menyambut Millenium Development Goals (MDGs) rentang 2010-2015. Apa daya, hal itu gagal, menjadikan Indonesia tertatih-tatih mencapai Millenium Development Goals di 2015 lalu. Kegagalan tersebut berdasar banyak faktor.
Pertama faktor budaya. Perkawinan dini masih menjadi pekerjaan rumah untuk bangsa ini. Menurut BPS, di 2016 Sulawesi Barat, Kalimantan Tengah, dan Sulawesi Tengah, merupakan tiga provinsi dengan prevalensi tertinggi perkawinan pada usia anak.
Pernikahan dini menyebabkan permasalahan kesehatan: terlahir cacat, kurang gizi, hingga gangguan kejiwaan. Belum lagi kerentanan perempuan terhadap penyakit-penyakit menular seksual. Ironisnya, beberapa kasus, perempuanlah yang tersudutkan akan penyakit menular yang diidapnya.
Kedua, akses ke pelayanan kesehatan dan pemahaman akan kesehatan reproduksi. Pengalaman saya di beberapa pelosok, semisal di Papua atau masyarakat adat. Di kelompok masyarakat tersebut, akses pelayanan kesehatan sulit diperoleh. Ambil contoh saja di Asmat, ketersediaan fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan langka di distrik-distrik. Di masyarakat adat Kajang, Bulukumba, Sulawesi Selatan, pemenuhan terhadap bidan dan persalinan, terhalangi akan jarak dengan kawasan adat Ammatoa.
Minimnya akses tersebut terhambat oleh inisiatif pemerintah dalam fleksibilitas terhadap nilai-nilai adat yang dianut oleh beberapa masyarakat adat. Kemudian juga perangkulan terhadap dukun atau batra (pengobat tradisional). Belum lagi pendidikan seksual yang masih tabu untuk diajarkan semenjak belia. Padahal sudah jelas pendidikan tersebut penting. Utamanya untuk menyiapkan calon ibu, yang juga merupakan pencetak generasi-generasi bangsa. (Dompet Dhuafa/Rosita Rivai)