Menanti Pahlawan Kemiskinan

Masih ingatkah Anda dengan Muhammad Yunus? Seorang guru besar di bidang ekonomi dari Universitas Chitagong, Bangladesh. Yunus memperoleh nobel perdamaian karena kerja kerasnya memperjuangkan kesejahteraan orang-orang miskin di negaranya. Gagasannya tentang Grameen Bank telah berhasil mengantarkan sebagian orang miskin di negaranya untuk produktif dan terbebas dari jerat-jerat tengkulak. Gagasannya telah menginspirasi banyak gerakan kemanusiaan serupa di berbagai negara. Tidak hanya masyarakat Bangladesh, bahkan dunia menyebutnya sebagai Pahlawan Kemiskinan.

Masih ingatkah Anda dengan Mohamed Bouazizi? Iya, dia seorang penduduk miskin di Tunisia. Seorang warga papa yang bunuh diri dengan membakar dirinya ketika polisi Tunisia menyita dagangannya berupa buah-buahan dan sayur-sayuran yang menjadi satu-satunya gantungan hidupnya. Aksi ‘heroik’ Bouazizi telah memicu kemarahan sosial ratusan ribu masyarakat Tunisia terhadap pemerintahnya pada awal tahun 2011 lalu dan berakhir dengan jatuhnya pemerintahan Tunisia. Aksi ‘kontroversial’ ini tidak saja telah memancing perhatian dunia, tapi juga menciptakan gelombang reformasi di kawasan Arab. Gelombang kemarahan yang berakar pada ketidakadilan ekonomi dan kesenjangan kemakmuran. Bouazizi pun serta-merta menjelma menjadi simbol perjuangan kaum miskin di Tunisia. Masyarakat negeri pesisir Laut Tengah tersebut menggelari Bouazizi sebagai Pahlawan Kemiskinan.

Merujuk sejarah Islam, masih ingatkah Anda dengan khalifah Islam yang kedua, Umar bin Khattab? Dalam 10 tahun masa pemerintahannya, khalifah Umar tidak saja sukses memperluas pengaruh dan wilayah kekuasaan Islam, tapi juga menciptakan kemakmuran rakyatnya. Umar dikenal sebagai khalifah yang papa, dekat dengan kaum duafa. Setiap malam khalifah Umar selalu berjalan mengontrol sendiri keadaan rakyatnya. Bahkan dia pernah menggotong sendiri sekarung beras yang diambilnya dari baitul mal negara dan diberikan kepada seorang ibu miskin yang dijumpainya di tengah perjalanan. Keberpihakannya terhadap masyarakat miskin sangat jelas dilakukan khalifah Umar.

Bahkan salah seorang keturunannya setelah satu abad kemudian, Umar bin Abdul Aziz, juga dikenal sebagai khalifah bersahaja. Meski hanya memerintah selama dua tahun, khalifah bergelar Umar II ini mampu mewujudkan kemakmuran rakyatnya. Sampai-sampai sangat sulit ditemukan mustahik zakat ketika itu. Sehingga sangat tepat jika banyak referensi sejarah menyebut kedua khalifah ini sebagai pahlawan-nya kaum duafa.

Cerita di atas hanyalah sedikit dari kisah kepahlawanan orang-orang yang peduli dengan masalah-masalah kemanusiaan dan kemiskinan. Masih banyak lagi cerita-cerita kepahlawan dalam kemanusiaan di dunia ini, bahkan dalam masyarakat kita sendiri.

Dalam referensi Islam, Rasulullah saw memberi penekanan dan perhatian besar terhadap persoalan kemiskinan. Bahkan Rasulullah saw sendiri digelari sebagai abul yatama (bapaknya anak-anak yatim), karena kedekatan dan perhatian besar yang diberikan beliau terhadap kondisi anak-anak yatim dan kaum fakir miskin.

Pahlawan Kemiskinan Indonesia

Rilis Badan Pusat Statistik (BPS) 2011 menyebutkan angka kemiskinan di Indonesia mencapai lebih dari 31 juta orang. Jumlah ini diprediksi meningkat pada tahun 2012 menyusul krisis keuangan dunia yang masih berlangsung. Malah, Bank Dunia  menyebutkan jumlah orang miskin di Indonesia mencapai 100 juta jiwa. Terlepas data mana yang benar, faktanya potret kemiskinan sangat banyak dan vulgar terlihat dalam diorama kehidupan kita sehari-hari. Keberadaannya bahkan sangat dekat dengan lingkungan kita. Tidak perlu pergi ke desa, pemandangan itu sangat banyak kita jumpai di kota.

Sayangnya, kemiskinan di negeri ini selalu diasosiasikan dengan angka-angka yang tidak jarang dijadikan komoditas politik dalam berkampanye untuk menunjukkan ‘keberpihakan’. Para pengambil kebijakan bahkan sering berdebat di antara mereka sendiri tentang angka kemiskinan sebenarnya. Sedangkan kemiskinan itu sendiri terabaikan, tidak tersentuh oleh program-program mereka. Para pengambil keputusan lebih banyak mengatasi persoalan kemiskinan hanya dari balik meja-meja mereka, berargumentasi dengan segudang teori ekonomi, tapi sangat jarang terjun langsung bersentuhan dengan realitas.

Sementara masyarakat memberdayakan dirinya sendiri. Solusi pengentasan kemiskinan di negeri ini mungkin lebih banyak dilakukan oleh elemen-elemen masyarakat sipil tanpa bergantung sepenuhnya terhadap pemerintah. Lembaga-lembaga kemanusiaan menyentuh realitas kemiskinan di masyarakat dengan tangan-tangan pemberdayaan. Nutrisi program mereka bersumber dari donasi masyarakat. Dari masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk masyarakat.

Dalam konteks kepahlawanan, boleh jadi lembaga-lembaga kemanusiaan inilah yang disebut sebagai ‘pahlawan kemiskinan’. Namun, berapa pun besarnya energi yang dikeluarkan lembaga kemanusiaan sebagai elemen civil society untuk mengatasi persoalan yang dihadapi, tidak akan dapat menyelesaikan problem kemiskinan. Harus ada kebijakan pemerintah yang betul-betul berpihak kepada masyarakat miskin.

Di negeri ini mungkin sudah banyak elemen masyarakat, baik individu maupun lembaga kemanusiaan, yang mengambil inisiatif berperan sebagai ‘pahlawan’ bagi orang-orang miskin. Tapi orang miskin tetap miskin dan jumlah mereka semakin meningkat. Karena kemiskian adalah fenomena sosial yang muncul dari faktor sistemik, bukan alamiah.

Kehadiran pahlawan-pahlawan baru untuk orang miskin dari kalangan pengambil kebijakan sebetulnya yang sangat dinantikan di negeri ini. Tidak cukup hanya dengan kehadiran elemen-elemen masyarakat sipil untuk memberdayakan dirinya sendiri. Pahlawan sebagaimana khalifah Umar I dan Umar II ketika mereka memegang kekuasaan. Karena sehebat-hebatnya Muhammad Yunus dengan gagasan pengentasan kemiskinannya, kemiskinan di Bangladesh tetap tidak lenyap. Begitupun dengan Indonesia.

Sudah lama negeri ini merindukan kehadiran pemimpin yang menjadi pahlawan untuk mewujudkan kemakmuran bagi masyarakat.[]