JAKARTA — Halaqah Syariah merupakan kajian rutin bulanan yang diinisiasi Dompet Dhuafa. Pada kesempatan kali ini, Selasa (26/3/2019) mengangkat tema diskusi tentang isu sosial kontemporer, yakni menyoal kembali RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (P-KS).
Dengan moderator Ustadz Ahmad Fauzi Qasim dan menghadirkan pembicara Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM, selaku Ketua Dewan Penasehat Syariah Dompet Dhuafa. Beliau membuka paparannya tentang “RUU P-KS: Dalam Perspektif Syariah,” dengan menelisik dari aspek filosofis, sosiologis dan yuridis. Baginya secara filosofis tidaklah bermasalah. Begitu juga dari aspek sosiologis yang didukung dengan data-data empiris.
“Secara aspek filosofis dan sosiologis tidak bermasalah. Tetapi secara yuridis kurang. Masih banyak definisi yang perlu dipertegas dan disederhanakan. Agar tidak menimbulkan makna ganda atau multitafsir. Walaupun kesimpulan dan tujuan yang ditawarkan dalam rancangan tersebut, secara umum saya yakin semua masyarakat Indonesia setuju,” ujar Prof. Amin Suma, dalam paparannya.
Baginya, siapa pun, baik itu laki-laki ataupun perempuan dari kalangan islam atau non-islam, pasti tidak setuju adanya tindakan kekerasan seksual. Namun persoalannya yang terjadi sekarang tentang RUU P-KS ialah bagaimana rancangan tersebut mampu mengakomodir semua kalangan masyarakat. Agar tidak menjadi pasal yang multitafsir dan eksklusif. Maka dari itu, persoalan dalam RUU P-KS bukan hanya persoalan apakah rancangan tersebut mendukung tindakan perzinaaan yang dilakukan oleh sepasang kekasih. Melainkan ada yang lebih dasar lagi, yakni kebebasan beragama.
Kebebasan beragama sangat berkaitan erat dengan urusan hubungan antara sepasang lelaki dengan perempuan baik secara seksual maupun emosional. Sebagai masyarakat Indonesia yang terdiri dari keberagaman, sudah menjadi kewajaran apabila masyarakat mengakui hubunga antara lelaki (suami) dengan wanita (istri) berdasarkan agama masing-masing. Maka dari itu dalam RUU P-KS, harus ada keseimbangan antara dimensi keagamaan dan kewarganegaraan.
“Akan lebih baik lagi, kalau RUU P-KS memasukan juga pasal 29 ayat 1 dan 2 sebagai landasan. Karena jika melihat polemik yang terjadi, persoalannya bukan hanya persoalan agama. Tapi juga persoalan bangsa dan negara,” lanjutnya di sesi yang digelar di Philantrophy Building, Jakarta Selatan.
Menurutnya RUU P-KS memang harus dikaji ulang dengan lebih mendalam. Terutama soal kekeluargaan. Jangan karena RUU P-KS ini justru malah mengkriminalisasi relasi keluarga antara ayah, ibu, dan anak. Walaupun beliau juga tidak memungkiri bahwa kekerasan dalam rumah tangga memanglah benar-benar ada.
Sebagai penutup, beliau mengajak para relawan-relawan baik dai ataupun advokat untuk terus melawan tindakan kekerasan seksual dan memberikan pemahaman yang segar tentang bagaimana suatu hubungan antara lelaki (suami) dengan wanita (istri) seharusnya.
“Diharapkan, kawan-kawan dai sekalian mampu membuka kesadaran tentang keluarga sakinah, yang tidak hanya dinilai sakinah secara agama, tapi juga sudut pandang lainnya. Karena bagaimanapun keseimbangan itu tetaplah perlu, baik keseimbangan antara agama dan hukum, agama dan budaya atau agama dan sosial,” tutupnya. (Dompet Dhuafa/Fajar)