Mengenal Empat Budaya Osing di Serambi Budaya Dompet Dhuafa

BANYUWANGI, JAWA TIMUR — Pada Sabtu (12/2/2022) lalu, Dompet Dhuafa telah meluncurkan Serambi Budaya di Desa Tamansuruh, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi. Tujuan dihadirkannya Serambi Budaya ini adalah sebagai upaya menghidupkan serta melestarikan budaya dan tradisi masyarakat Osing yang kian semakin terkikis oleh budaya luar. Sedangkan budaya adalah salah satu faktor penting dalam penyebaran Agama Islam di Banyuwangi. Pemilihan Desa Tamansuruh sebagai sentral Serambi Budaya Dompet Dhuafa adalah karena desa ini merupakan salah satu perkampungan asli warga suku Osing.

Setidaknya ada 4 (empat) tradisi yang kini menjadi perhatian Dompet Dhuafa yang diangkat pada Serambi Budaya di wilayah sisa-sisa Kerajaan Blambangan ini. Empat tradisi tersebut adalah Burdah, Mocoan Lontar Yusuf, Pencak Sumping dan Kuntulan. Kepala Unit Dompet Dhuafa Banyuwangi, Achmad Effendi, mengatakan keempat tradisi tersebut merupakan budaya asli di Banyuwangi yang hingga kini pun masih dijalankan. Meski begitu, sedikit demi sedikit budaya ini terkikis oleh budaya-budaya luar yang semakin masuk tanpa bendungan. Maka itu sangat butuh perhatian serta pelestarian supaya budaya-budaya ini tetap ada sebagai warisan asli Nusantara.

“Semoga dengan hadirnya Serambi Budaya di tengah-tengah masyarakat Osing ini, memantik seluruh masyarakat untuk turut sadar akan budaya diri sendiri dan turut melestarikan budayanya masing-masing,” tutur Pak Pepen, sapaan akrab Achmad Effendi, Sabtu (12/2/2022).

 

Budaya pada Serambi Budaya Dompet Dhuafa di Desa Budaya Tamansuruh ini akan dibahas selengkapnya di bawah ini.

 

1. Burdah

Burdah atau masyarakat Osing kebanyakan menyebutnya Berdah adalah seni pertunjukan yang berisikan seni musik, dan seni tarik suara, di mana di dalamnya terdapat pembacaan Al-Kawakib Ad-Durriyah (bintang-bintang gemerlapan). Yaitu syair yang berisi puji-pujian terhadap Nabi Muhammad SAW yang merupakan karya Abu Abdillah Syarafudin Abi Abdillah Muhammad bin Khamad ad-Dhalashi ash-Shanja asy-Syadzili al-Bushiri. Selain itu juga ada pembacaan Kitab Al-Barzanji Oleh Ja'far Al-Barzanji Ibn Hasan Ibn 'Abdul Karim Ibn Muhammad Ibn Abdul Rasul. Bacaan Burdah tersebut diiringi dengan musik gendhing-gendhing Osing Banyuwangian. Kesenian ini biasanya oleh masyarakat Banyuwangi, digelar pada upacara pernikahan, upacara menyambut kelahiran bayi, aqiqah, khitanan, maulid Nabi SAW, dan upacara pelepasan haji.

Seni ini berkembang bersama dengan proses berkembangnya agama Islam di tanah Nusantara. Dahulu, pembacaan Kitab Al-Barzanji hanya beralatkan alat musik rebana/terbang besar dan terbang kecil yang dibawakan oleh 10 orang anggota kelompok Al-Barzanji. Kemudian berkembang dengan dimasukkannya unsur-unsur alat musik tradisional Banyuwangi seperti gong, kethuk dan kluncing. Kelompok Burdah pertama berdiri di Dusun Mondoluko, Desa Tamansuruh.

 

2. Mocoan Lontar Yusuf

Tradisi Mocoan Lontar Yusuf merupakan tradisi yang dilakukan oleh masyarakat suku Osing Banyuwangi berupa pembacaan naskah (lontar) Yusuf. Lontar Yusuf sendiri adalah kitab kuno yang tertulis dengan aksara pegon dan berisi tentang kisah Nabi Yusuf. Bentuknya berupa puisi tradisional yang terikat dalam aturan yang disebut pupuh. Total dalam Lontar Yusuf terdapat 12 Pupuh, 593 bait dan 4.366 larik.

Tidak hanya Burdah yang menjadi pilihan para penyebar agama Islam di Banyuwangi, Lontar Yusuf juga menjadi media dakwah sekaligus bentuk akulturasi budaya Islam dengan budaya tradisional Banyuwangi. Tradisi pembacaan teks-teks naskah kisah Yusuf atau Lontar Yusuf ini diperkirakan ada mulai pada pertengahan abad 18 atau sekitar tahun 1800.

Lontar Yusuf banyak memuat tentang religiusitas atau ketaqwaan kepada Sang Pencipta, kisah tentang Nabi dan keutamaannya, serta tentang hikmah perjalanan manusia.

Di Tamansuruh kegiatan mocoan Iontar yusuf telah dilakukan turun temurun hingga sekarang. Pembacaan lontar Yusuf dilakukan pada saat-saat tertentu yang dianggap penting, seperti mengiringi prosesi adat Seblang dan tradisi Tumpeng Sewu. Biasa juga dilakukan pada prosesi selamatan yang berkaitan dengan siklus kehidupan, seperti proses kelahiran, khitan dan perkawinan. Pembacaan ini biasanya dimulai selepas Isya dan baru berakhir menjelang Subuh.Sebagai insan budaya, masyarakat Banyuwangi tentu perlu merawat dan meneruskan kebiasaan baik ini kepada generasi penerus agar tetap lestari. Pada tahun 2019 lalu, Mocoan Lontar Yusuf telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda.

 

3. Pencak Sumping

Pencak/Mencak merupakan atraksi seni bela diri khas masyarakat Osing yang dilakukan secara turun-tenurun. Khususnya bagi masyarakat Desa Tamansuruh, budaya ini menjadi istimewa karena hampir di setiap dusun memiliki perguruan Pencak Sumping. Setiap tahunny, pada tanggal 10 Dzuhijah atau Lebaran Haji, para perguruan Pencak Sumping akan bertemu dan berkumpul dalam Ritual Adat Pencak Sumping yang dilaksanakan dalam rangkaian Tradisi Bersih Deso di Dusun Mondoluko, Desa Taansuruh. Ajang silahturahmi antar perguruan pencak ini datang tidak hanya dari Desa Tamansueuh, namun hampir seluruh perguruan di Banyuwangi hadir bersilahturahmi meramaikan acara. Selain itu, Pencak Sumping juga digelar pada upacara-upacara adat.

Yang menjadi keunikan dari setiap acara pagelaran Ritual Adat Pencak Sumping adalah seluruh masyarakat Mondoluko menyuguhkan kue jajanan tradisional nogosari atau sumping. Sehingga pagelaran pencak silat yang ada di dusun Mondoluko ini disebut “Mencak Sumping”.

Dusun Mondoluko pun memiliki cerita tersendiri. Wilayah ini pernah dipimpin oleh seorang raja dan meninggal dengan kondisi terluka karena tidak menguasai ilmu bela diri. Sang ratu kemudian diharuskan untuk belajar ilmu silat agar bisa membela diri saat berperang. Mondol berati luka yang parah, maka itu disebut Mondoluko. Sejak saat itu, ratu bersama rakyatnya rutin belajar silat. Bahkan Anak-anak sejak usia 7 tahun juga sudah belajar, baik laki-laki maupun perempuan. Sementara ritual 10 Dzulhijah, berawal dari peristiwa pagebluk yang mengakitbatkan banyak orang meninggal, sehingga diadakan ritual Bersih Deso untuk menghilangkan petaka tersebut.

 

4. Kuntulan

Kuntulan merupakan kesenian hasil dari akulturasi budaya agama Islam dengan budaya asli Banyuwangi. Alat musik yang digunakan adalah rebana dan kluncing dengan lagu pengiring menggunakan Bahasa Osing. Tradisi ini awalnya lahir dari lingkungan pesantren yang merupakan suku perguruan Islam tempat mendidik dan mengembangkan santri (kader umat Islam) guna kelanjutan perjuangan penyebaran Islam. Selain melakukan kegiatan belajar agama Islam, para santri juga melakukan aktivitas berkesenian yaitu menyanyikan Shalawat Nabi berisi tentang puji-pujian kepada Nabi Muhammad SAW diiringi alat musik rebana. Pada awal-awal kemunculannya, kesenian ini disebut hadrah kemudian bertransformasi menjadi kutulan dengan penari laki-laki, hingga pada akhir tahun 70an atau awal tahun 80an seorang maestro seniman banyuwangi, Sumitro Hadi, melakukan perubahan bentuk pertujukan kuntulan dari penari laki-laki menjadi penari perempuan.

Kuntulan kemudian semakin berkembang pada masa kekuasaan Kesultanan Mataram di wilayah Blambangan diikuti dengan masyarakat Blambangan yang semakin menerima Islam sebagai agama mereka. Penamaan Kuntulan berasal dari nama burung kuntul yang berwarna putih yang kemudian dijadikan sebagai kostum para penari. Burung kuntul hidup berkelompok sehingga melambangkan kebersamaan dan kekeluargaan. Nama kuntulan juga merupakan kata dalam Bahasa Arab yaitu kuntu dan lailan yang berarti saya di waktu malam. Nama ini dimaknai sebagai kegiatan mengisi waktu luang bagi para santri.

Mas Supranoto budayawan banyuwangi, mantan kepala museum Banyuwangi, mengatakan, pada tahun 80-an di Desa Tamansuruh ada sebuah grup kuntulan yang dibina Oleh Bapak Sumawi, seorang Babinsa Desa, memberi warna tersendiri pada kesenian kuntulan dengan ditambahkaannya unsur tabuhan caruk. Seni Hadrah Kuntul atau yang kemudian terbiasa disebut kuntulan adalah sebagai salah satu kesenian sebagai media dakwah di kalangan masyarakat Banyuwangi.

Dari pemahaman tentang 4 (empat) tradisi Osing tersebut, dapat disimpulkan bahwa budaya menjadi salah satu alat terpenting dalam penyebaran dakwah Islam di tanah Blambangan. Melalui kegiatan budaya, ajaran Islam mampu masuk dan berkembang seriring dengan berkembangnya budaya. Hal ini tentu tidak terjadi di wilayah Kerajaan Blambangan saja, melainkan juga di seluruh wilayah di Nusantara, bahwa Islam berkembang melalui budaya dan kearifan adat setempat. (Dompet Dhuafa / Muthohar)