Mengenal Kembali Indonesia, Antara Tantangan dan Kenangan

BOGOR — Terlahir sebagai warga yang berasal dari dua kewarganegaraan, memungkinkan seseorang mempunyai dua kampung halaman. Bisa jadi dua kampung halaman itu masih berada di wilayah yang berdekatan, bisa juga tidak, semisal beda negara. Terlepas itu masih dalam satu negara atau tidak, itu tidak memungkiri kalau di diri kita terdapat dua atau lebih atribut dari berbagai kultur yang berbeda-beda.

Ambil contoh dari para peserta Deen Camp yang digelar oleh Dompet Dhuafa untuk anak-anak keturunan Indonesia-Australia. Walaupun kebanyakan mereka besar di Australia yang terkenal dengan sebutan Negeri Kangguru, mereka masih memiliki darah Indonesia. Sebuah negara yang karena keistimewaan letak geografisnya hingga dinamai Zamrud Khatulistiwa. Kedua negara mempunyai sebutan khas, gaya hidup, iklim, lingkungan fisik maupun sosial yang berbeda. Sehingga menandakan para peserta Deen Camp memiliki lebih dari satu latar belakang yang membentuk diri mereka sampai saat ini.

Namun karena beberapa alasan, mereka tidak dapat menikmati kekayaan budaya dari dua negara yang menjadi latar belakang mereka, secara bersamaan. Maka hanya satu budaya saja yang dapat mereka nikmati secara langsung. Karena alasan tersebut, para peserta sangat senang dapat kembali ke Indonesia untuk mengenal asal-usul mereka.

“Kita kan sudah lama nggak kembali ke Indonesia. Aku sendiri sejak umur delapan tahun berada di Australia. Sewaktu aku kecil, wawasan dan pengalaman tentang Indonesia juga terbilang sedikit. Seperti apa itu peternakan kambing, atau wilayah-wilayah yang berada di luar area kota. So its interesting,” curhat Fathiya Laksono (19), peserta Deen Camp.

Di tengah nostalgia mereka tentang kampung halaman yang disebut Indonesia, mereka juga menemui kesulitan. Salah satu kesulitan yang mereka hadapi ialah terkait adaptasi. Para peserta mengakui kalau Indonesia dan Australia memiliki suhu udara yang jauh berbeda. Bagi mereka, udara di sini sangatlah panas. Maka tidak jarang, ketika kalian melihat mereka setelah melakukan aktivitas ibadah, seperti shalat atau mengaji, mereka langsung berlarian dan rebutan posisi yag tepat untuk menikmati hembusan Air Conditioner (AC) Masjid Al-Madinah.

“Kita sudah terbiasa dengan udara dingin di Australia. Maka ketika kita di sini, sangat terasa kepanasan. Maka biasanya setelah kegiatan, kita langsung menghampiri AC,” ucap Fasha Mustafa (10), lelaki peserta Deen Camp termuda.

Lebih jauh lagi, Fasha, mengungkapkan keengganannya untuk menggunakan toilet masjid karena terlalu basah. Hal tersebut berbeda sekali dengan toilet di rumah atau di asrama camp.

“Aku sih tidak masalah dengan toilet di masjid atau di dalam asrama. Selama mereka bersih, Aku tidak masalah dengan itu,” lanjut Fasha.

Begitu juga dengan apa yang dialami oleh Fathiya. Dia memiliki kulit yang sensitif. Sehigga mengharuskan dia untuk memperhatikan kulitnya setiap kali kegiatan di sini. Terutama ketika kegiatannya dilakukan di luar ruangan.

Terlepas semua kesulitan dalam beradaptasi di atas. Hal tersebut tidak mematahkan semangat mereka untuk belajar tentang Indonesia dan juga belajar tentang agama Islam. Mengingat kegiatan tersebut hanya dilaksanakan selama dua minggu. Itu waktu yang singkat untuk mengenal apa itu Indonesia.

“Aku ke sini untuk mengejar Islamic Studies seperti tentang Al-Qur’an, Fiqih, dan lainnya. Soalnya, tahun lalu aku sempat sibuk dengan perkuliahan, dan juga pekerjaan ketika menjadi resepsionis di klinik psikologi. Jadi di kegiatan ini, selama dua minggu aku gunakan untuk mengejar ketertinggalan ilmu-ilmu keislaman yang sempat tertunda karena kesibukan,” tutup Fathiya. (Dompet Dhuafa/Fajar)