Menghapus Kekerasan Terhadap Perempuan, Menyoal Kembali Kasus Kekerasan Indonesia

JAKARTA — Kekerasan dapat terjadi di mana-mana, dan dalam bentuk yang beragam. Bisa kekerasan fisik, mental, ataupun verbal. Terkadang memang sulit melihatnya, namun bukan berarti kekerasan tersebut tidak ada. Seperti halnya udara, ia tak terlihat namun dapat dirasakan.

Berdasarkan data dari Komnas Perempuan, angka kekerasan terhadap perempuan meningkat setiap tahun. Pada 2017, terdapat 348.446 jumlah pelapor yang terekam dalam daftar. Angka tersebut melonjak tajam dari tahun sebelumnya yang hanya 259.150 kasus. Data lainnya dari Balai Pelayanan Kepulangan TKI Selapajang Tangerang, mencatat kasus pelecehan seksual terhadap pekerja migran pada 2008-2014 mencapai 11.343 kasus. Sedangkan data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) memperlihatkan pada 2015, terdapat 18 kasus pelecehan seksual pada pekerja migran. Diantara data-data di atas, sebut saja beberapa contoh dari kasus kekerasan belum lama ini, kasus pelecehan salah seorang mahasiswi UGM, penumpang ojek online di Surabaya, Baiq Nuril.

Bertepatan dengan semakin meningkatnya kasus kekerasan tersebut. Komnas Perempuan bersama elemen-elemen lainnya menggalakan kegiatan “16 Hari Gerakan Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan” yang merupakan kampanye internasional setiap tahun. Kampanye tersebut dimulai pada 1993 oleh Women’s Global Leadership Institute. Sedangkan di Indonesia sendiri, sudah dimulai pada tahun 2003.

Menilik latar belakang tersebut, Dompet Dhuafa bersama IMZ menginisiasi diskusi bertajuk “Menghapus Kekerasan Terhadap Perempuan,” pada Kamis, 29 November 2018, yang diisi oleh narasumber dari berbagai perspektif, seperti Bagus Riyono (President International Association of Muslim Psychologist), Dwi Hastuti (Pakar Perkembangan Anak, Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen Fakultas Ekologi Manusia IPB), Evi Risna Yanti (Tim Hukum Aliansi Cinta Keluarga Indonesia, Pusat Bantuan Hukum Dompet Dhuafa), Priyadi Santosa (Sekretaris Deputi Perlindungan Hak Perempuan), dengan mengambil tempat di Sofyan Hotel Soepomo, Tebet, Jakarta.

Salah satu solusi yang ditawarkan oleh Dwi Hastuti dan Bagus Riyono ialah memaksimalkan peran keluarga dalam mengedukasi. Karena keluarga merupakan tempat pertama kali seseorang menerima pendidikan. Diharapkan lewat keluarga ini, lewat kelompok sosial yang mikro tersebut dapat mempengaruhi hal sekitar, khususnya bangsa negara Indonesia. Jadi untuk menciptakan perubahan yang besar, kita harus memulainya dari aspek-aspek yang kecil dan utama, yakni keluarga.

“Healthy Family, Healthy Individual,” jelas Dwi Hastuti.

Selain itu, Evi Risna Yanti, menganjurkan untuk setiap orang mendorong para korban kekerasan untuk berani berbicara dan berani melapor. Mengingat jika hal tersebut dibiarkan, maka akan menciptakan iklim masyarakat yang kurang sehat dan amoral.

“Korban merasa kalau kekerasan seksual yang diterima merupakan aib, maka mereka tidak berani berbicara. Bahkan ada yang merasa tidak mau repot berurusan dengan pihak berwajib, makanya mereka memilih diam,” ujar Evi Risna Yanti.

Lebih jauh lagi Evi menjelaskan butuh waktu yang lama untuk membuat seseorang berani melaporkan perlakuan kekerasan seksual yang diterima. Ini juga yang membuat dia yakin, korban kekerasan seksual butuh dukungan dari segala pihak, baik itu keluarga, tetangga, teman sekitar, pihak pemerintah maupun non pemerintah.

Lewat diskusi tersebut, juga ingin memperluas kajian seputar kekerasan seksual. Bahwasanya tidak selalu kekerasan seksual melibatkan aspek gender. Walaupun baik Bagus Riyono maupun Haryo Mojopahit, selaku Manajer Advokasi dan Aliansi Strategis Dompet Dhuafa mengakui hal tersebut terjadi karena ada ketimpangan relasi kuasa, baik lintas gender maupun dengan gender yang sama.

Diskusi tersebut hanyalah salah satu upaya untuk melibatkan berbagai pihak, baik dari segi gender, profesi, dan usia untuk mencari solusi bersama terkait permasalahan kemanusiaan.

Haryo Mojopahit, menegaskan banyak program-program pemberdayaan Dompet Dhuafa yang melibatkan berbagai pihak. Tidak terbatas pada satu pihak atau gender saja. Ini diharapkan dapat meminimalisir ketimpangan yang terjadi antara lelaki dan perempuan atau sesamanya baik secara sosial maupun ekonomi. (Dompet Dhuafa/Fajar)