Menilik Pejuang Pendidikan di Pinggiran Ibukota

JAKARTA — Tut Wuri Handayani atau dalam Bahasa Indonesia berarti ‘Yang Di Belakang Mengarahkan,’ itulah setidaknya nilai yang dianggap perlu diperjuangkan setiap insan pendidik di Indonesia. Satu dari tiga rumus pendidikan yang dibuat oleh Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara. Memiliki maksud bahwa guru adalah aktor penting dalam proses mencerdaskan generasi. Memiliki banyak fungsi penting, bukan hanya mengajar tapi juga mendidik dan menanamkan nilai karakter kebangsaan yang terkenal baik dan adiluhur. Entah bagaimanapun keadaan dan kondisi di lapangan pendidikan.

Salah satunya adalah Arbi, salah satu guru konsultan dari progam Sekolah Literasi Indonesia (SLI) Dompet Dhuafa. Arbi dan beberapa rekan dari SLI Dompet Dhuafa menginisiasi lahirnya sekolah urban MDT Al Barokah-Mangga Dua untuk anak-anak putus sekolah yang ada di Jakarta.

“Saya bersama tim SLI menginisisasi sekolah urban untuk anak-anak yang putus sekolah, dan mendampingi anak-anak agar pendidikannya tetap terjaga,” terang Arbi.

Pembentukan sekolah urban tersebut berawal dari kegelisahan Arbi ketika melihat realita pendidikan yang ada di Jakarta. Banyak diantara anak-anak yang ada di sekitar sekolah urban tersebut putus sekolah, menganggur dan tak memiliki arah tujuan hidup. Sehingga sangat rentan terhadap perilaku negatif, seperti narkoba, prostitusi dan hal negatif lainya.

“Di wilayah tersebut, banyak anak yang menganggur dan tidak ada arah tujuan kehidupanya. Saya juga kaget karena wilayah tersebut ternyata banyak anak-anak yang menjadi kurir narkoba, dan keluarganya tak jarang sebagai konsumen atau pengedar narkoba,” lanjut Arbi, ketika bercerita awal mula dirinya menginisiasi sekolah urban.

Bukan perjalanan yang mudah bagi tenaga pendidik seperti Arbi, terlebih lingkup pendidikan yang tidak biasa. Bersinggungan dengan banyak pihak dari berbagi macam latar belakang, menjadikan Arbi dan rekan-rekanya menebalkan hati untuk bersabar. Mereka berhadapan dengan birokrasi yang tidak mendukung. Selain itu, Arbi juga harus bersingungan dengan masyarakat yang notabene kurang paham perihal nilai-nilai keagamaan.

“Perjuangan kami di awal pun harus berhadapan dengan birokrasi setempat yang menolak, dan mengasingkan kami. Masayarakat yang juga awam terhadap agama, hidup dengan pergaulan bebas, menjadi tantangan tersendiri untuk dapat menjalankan progam pendidikan di wilayah tersebut,” terang Arbi. 

Oleh karena itu, Arbi dan rekan-rekan tidak hilang akal, dan terus memupuk semangat. Berbagai tindakan mulai dilakukan oleh tim bentukan Arbi demi terciptanya kemajuan pendidikan di wilayah tersebut. Mulai dari assessment sampai pendampingan langsung ke siswa.

“Saya bersama teman-teman SLI Dompet Dhuafa terus membuat analisa, assessment, dan metode pendampingan, agar kegiatan pendidikan dapat mudah diterima oleh siswa,” tambah Arbi.

Perjuangan Arbi dan rekan-rekannya tidak sia-sia. Progamnya berhasil berjalan, bahkan berkembang. Sampai pada akhirnya terbentuk sekolah paket berbasis ketrampilan dan pengadaan kegiatan keagamaan (madrasah) untuk SD, SMP, dan SMA. Tentu hal tersebut tidak lepas dari kerja keras dan ikhtiar Arbi dan  rekan-rekan dari SLI Dompet Dhuafa. (Dompet Dhuafa/Zulfarizal)

“Saya merasa terpanggil untuk terjun dalam situasi tersebut. Apalagi mengajar adalah passion saya. Walaupun sulit dan banyak sekali tantangan, mudah-mudahan ini menjadi bekal saya di akhirat. Kerena saya tidak punya apa-apa selain dari mengusahakan yang terbaik dan bermanfaat untuk banyak orang,” tutup Arbi, dengan senyum saat menyudahi ceritanya.