Migrant Institute, Gagas Program Smart Migration

JAKARTA — Bekerja menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri, merupakan pilihan yang diambil lantaran minimnya pendidikan dan keahilian. Selain itu juga sulitnya mendapatkan pekerjaan di kampung halaman. Berniat memperbaiki nasib dengan mencari peruntungan di negeri orang, tak jarang para TKI ini mengalami sejumlah masalah saat bekerja. Seperti gaji tidak tepat waktu, pekerjaan yang overload, kerja tanpa batas waktu yang jelas, hingga tidak ada hak cuti.

Menurut data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), sepanjang Januari 2015, sebanyak 55 kasus pengaduan TKI yang tidak mendapatkan bayaran gaji. Posisi kedua yaitu overstay (kelebihan waktu tinggal) di negara tempat bekerja, kemudian keinginan TKI untuk kembali ke Tanah Air.

Migrant Institute merupakan salah satu organ Dompet Dhuafa yang berkiprah pada program advokasi dan pemberdayaan buruh migran Indonesia. Baik sebelum keberangkatan, saat keberangkatan dan sebelum penempatan. Untuk advokasi, Migrant Institute telah melakukan pendampingan agar mereka mendapatkan hak-haknya.

Pada awal berdirinya, Migrant Institute merupakan wadah bagi para perantau atau buruh migran Indonesia di Hong Kong untuk mengembangkan diri di berbagai bidang keterampilan, seperti kursus komputer, menjahit, Bahasa Inggris, Bahasa Mandarin, Tata Rias, dan sebagainya.

Direktur Eksekutif Migrant Institute, Adi Candra Utama, menegaskan ada tiga tugas utama dari Migrant Institute ini. Pertama, Layanan langsung kepada mustahik, bantuknya adalah advokasi kepada TKI yang bermasalah. Untuk memperluas jaringannya, sejak 2013 membuat skema kerelawanan. Para relawan dapat membantu menyelesaikan permasalaan sendiri di daerah masing-masing. Sehingga tidak perlu diselesaikan di Jakarta dan Surabaya.

Kedua, Layanan kepada komunitas. Sejak 2010 mengembangkan komunitas keluarga Migarant Indonesia. Saat ini komunitas tersebut menjangkau 25 kabupaten dan kota di Indonesia. Orientasinya adalah menjadi wadah aktualisasi pengembangan komunitas bagi mantan TKI, agar potensi mereka dapat dimanfaatkan di kampung halamannya. Kemudian menjadi pusat informasi kepada calon TKI dan bagi keluarga aktif TKI dapat memanfaatkan secara optimal hasil dari menjadi buruh migran di negeri orang. Karena sejauh ini, masih banyak keluarga TKI gagal dalam mengelola keuangan.

Ketiga, Mendorong tatakelola kebijakan. Bekerjasama dengan nongovernment organization (NGO) untuk mengawal revisi undang-undang 39/2004 tentang perlindungan buruh migran yang masih lemah.

“Tahun depan (2017), kita menggagas migrasi cerdas (smart migration). Komponen pertama adalah pada skala perlindungan. Sehingga para migrasi merasa aman ketika awal keberangkatan hingga pulangnya. Kedua, menjadi penghubung antara TKI aktif dan keluarganya. Bagaimana migrasi itu memberi manfaat kepada individu, keluarga dan masyarakat sekitar,” Ujar Adi saat ditemui di kantornya, Jalan Haji Ali No. 40, Kampung Tengah, Kramat jati, Jakarta Timur, Selasa (6/12).

Ia berharap nantinya tidak ada lagi TKI yang masih bingung mencari pekerjaan akibat keluarganya tidak dapat mengelola keuangan. Ketika sudah memutuskan untuk menetap di kampungnya. Program smart migration ini menjadi ikhtiar Migrant Institute untuk mengurangi kasus-kasus yang biasa menimpa TKI, dan tentunya untuk mewujudkan masyarakat yang mandiri di negeri sendiri. Tanpa ketergantungan kepada negeri orang lain. (Dompet Dhuafa/Khoir)