JAKARTA — “Banyak yang tidak berani karena belum menghadapai dunia pekerjaan. Memutuskan melanjutkan ke jenjang S2, karena kebingungan mereka setelah lulus S1, dan menjadikan sekolah sebagai pelarian agar tidak dibilang penganggur,” terang Joko, di tengah materinya dalam acara “NGOPI” (NGobrol Pendidikan Indonesia) yang digelar di Warunkomando Ropisbak Ghifari Tebet, Jakarta Selatan, pada Jumat (19/10/2018).
Statemen yang sedikit menggambarkan wajah pendidikan tinggi di Indonesia saat ini. Bukan tanpa alasan, faktanya setiap tahun, hampir satu juta Sarjana diluluskan dari 3.243 Perguruan Tinggi di Indonesia. Dari jumlah tersebut, 600 ribu lulusan atau sekitar 60 persen diantaranya menjadi pengangguran. Sampai muncul suatu istilah ‘pengangguran terdidik’, yaitu mereka yang berpendidikan tinggi, namun tidak terserap pada dunia pekerjaan. Banyak perusahaan yang membuka beberapa lowongan, dan ribuan lamaran sudah berjejalan. Bahkan, driver ojek online dengan gelar S1 sudah biasa ditemui.
Berawal dari fenomena tersebut, Dompet Dhuafa Pendidikan berinisatif untuk membahasnya dalam sebuah diskusi. Dengan tajuk “Revolusi Industri 4.0, Sarjana: Lahirnya Kaum Intelektual atau Hanya Menambah Pasar Manusia Terdidik?” Gelaran tersebut menghadirkan perbincangan yang menarik. Dengan pemateri ulung seperti Arif Satria (Rektor IPB), Purwo Udiutomo (General Manager Sekolah Kepemimpinan Bangsa), dan Fadli Hari Utomo (Plant Engineering PT Astra Otopart Tbk), berhasil menghidupkan diskusi yang kebanyakan peserta merupakan sarjana fresh graduate.
“Ada kesenjangan antara kurikulum dengan kebutuhan industri di era sekarang. Oleh karena itu kita hadirkan banyak pihak yang bersangkutan dalam dunia pendidikan tinggi, seperti pihak pengelola kampus dan pihak pemerintahan,” terang Purwo Udiutomo, selaku General Manager Sekolah Kepemimpinan Bangsa.
“Kita coba bangun sinergi untuk merumuskan kira-kira bagaimana pola pembinaan yang baik. Sehingga lulusanya tidak menjadi pengangguran terdidik,” tambah Purwo. (Dompet Dhuafa/Zul)