“Karakter dan kecerdasan siswa mampu dibangun melalui ilmu yang bermanfaat. Dari situlah akhirnya hati saya tergerak untuk memilih mengajar dan menjalani profesi sebagai guru,”
Ya, hal itulah yang memantapkan hati Nurhayati (35), mantan dosen di salah satu perguruan tinggi swasta yang telah bergabung di Sekolah SMART Ekselensia Indonesia Dompet Dhuafa sejak tahun 2006. Ibu dari enam anak ini tak pernah menyangka, akan menjadi seorang guru seperti sekarang. Sebab, meski tugas dosen juga mengajar, namun jauh berbeda dengan tugas guru.
Mengapa demikian? Sebab saat menjadi dosen, beban moral tak terlalu tinggi, dan tak peduli mahasiswa memperhatikan atau tidak yang penting mengajar. Lain halnya dengan guru yang memiliki beban moral lebih, dan tak hanya mengajar, guru harus peka terhadap siswanya.
“Saya mendapat informasi tentang sekolah SMART milik Dompet Dhuafa dari tetangga saya. Awalnya hanya berpikir pasti akan sulit, karena biasanya kan saya mobile, tapi kalau jadi guru berarti harus stay di sekolah dari pagi sampai sore. Setelah itu saya konsultasikan dengan suami, dan Alhamdulillah dia mengizinkan. Selain itu, rumah saya kan di Bogor jadi lebih dekat, serta tidak macet,” ungkap perempuan kelahiran Jakarta ini.
SMART Ekselensia Indonesia merupakan sekolah dengan siswa 100 % laki-laki. Hal itu menjadi tantangan tersendiri bagi Nurhayati, sebab sebagai guru perempuan, terkadang agak susah mendekati mereka. Namun ia tak menyerah dan terus maju. Nurhayati selalu percaya, bahwa selain kecerdasan intelektual, setiap siswa juga harus memililki kecerdasan hati atau keimanan. Hal itu pulalah yang selalu ia ajarkan kepada para siswanya.
“Jangan hanya puas dengan kecerdasan serta prestasi, tapi juga moral dan keimanan harus selalu dijaga, karena kalau semua itu hilang maka bisa jadi congkak. Hal itu jugalah yang kurang dari pendidikan di Indonesia, yakni kurangnya pendidikan agama di Indonesia. Sehingga pergaulan bebas pun mewabah di mana-mana,” paparnya. (Dompet Dhuafa/Uyang)