Nyasar Jadi Dokter, Leburkan Karir dan Hobi ala Relawan Perempuan

NUSA TENGGARA BARAT — Sebagai dokter dan relawan perempuan, Annisa Rahmani (25), memiliki pengalaman berkesan dalam masa tugas yang masih diingatnya hingga saat ini. Kala itu dialami bersama Dompet Dhuafa, yakni sejak bergabung sebagai tim medis untuk bantuan dari peristiwa Gempa Bumi Lombok, tahun lalu.

“Kami kaget, puskesmas kan hancur, bidan juga tidak ada. Sore itu tim medis masih melakukan pelayanan kesehatan, tiba-tiba di depan mata ada seorang ibu yang ingin melahirkan. Kalau tidak ditolong lebih bahaya,” terang Annisa.

Kegiatan Aksi Layanan Sehat (ALS) menangani rata-rata 200 pasien perhari, memasuki daerah Bayan yang aksesnya sulit dan jembatannya putus. Semua itu ia lewati bersama tim medis lainnya. Bahkan kedapatan membantu persalinan dalam kondisi pasca gempa di wilayah terdampak parah yaitu Kabupaten Lombok Utara.

“Tidak pernah terbayang kami membantu proses bersalin di dalam tenda dengan kondisi dan fasilitas emergency kit seadanya. Namun Allah mudahkan sang ibu melahirkan secara normal. Sampai sekarang ia dan anaknya masih sehat. Bahkan sekarang kalau kami datang lagi ke lokasi itu dan melihat mereka, tidak menyangka waktu itu berhasil,” jelasnya.

Berkegiatan dalam organisasi kerelawanan, sudah tidak asing dilakukan perempuan asal Mataram tersebut sejak duduk di bangku sekolah menengah atas. Jiwa sosialnya telah terbangun sejak dini oleh penerapan lingkungan terdekat, yakni orang tua. Bahkan Annisa mengaku bahwa sebelumnya ia tidak pernah terpikir akan menjadi seorang dokter.

“Jadi dokter itu sebenarnya ‘nyasar’, hehe.. Sekolah ku memang IPA, tetapi sebelumnya diterima kuliah di luar negeri jurusan Sosial Politik. Tapi orang tua tidak kasih izin. Mungkin karena aku juga hobi banget traveling, khawatir kuliah tidak selesai. Barulah aku ‘belok’ memilih Kedokteran dan kuliah di Lombok,” kenangnya dengan bahagia.

Sebagai mahasiswa Kedokteran, Annisa merasa salah jurusan karena waktu belajarnya menggangu aktivitas sosial dan hobi travelingnya. Alih-alih memenuhi hasratnya, ia menyiasati ketika memiliki waktu libur dan benar-benar ia manfaatkan untuk kegiatan leadership training. Bahkan di luar kota ia datangi, sembari sejenak liburan di sela-sela belajar.

Menurutnya, selain tugas yang wajib, ada banyak hal yang bisa tetap ia lakukan. Kontribusinya kini sebagai seorang dokter, namun juga melakukan perjalanan ke daerah-daerah yang ternyata butuh pertolongan lebih, bersamaan dengan peristiwa tertentu. Tentu menjadi proses Annisa untuk menyatukan karir dan hobinya yang bermanfaat.

“Tidak ada batas tempat, di manapun selagi bermanfaat. Aku lebih senang produktif di lapangan dibanding banyak diam di dalam ruangan. Ketika di lapangan, aku merasa tidak hanya sekedar memberi obat. Namun juga memberi sesuatu yang lain. Bahkan dengan situasi tempat baru, kita memberi dan ikut mendapat sesuatu yang lain. Empati pasti, mereka butuh segala. Namun yang paling penting mereka itu butuh didengarkan juga,” ucapnya.

Berharap mendapat tugas di daerah Kalimantan, Annisa melihat masyarakat dengan akses yang sulit dijangkau di perbatasan negara. Namun ia masih memilih untuk berjuang di NTB (Lombok, Sumbawa), karena ternyata masih banyak wilayah yang membutuhkan bantuan. Menjadi pengalaman perdana bersama Klinik Apung Dompet Dhuafa, bergerak sebagai armada transportasi medis, obat-obatan, memberi pelayanan kesehatan, bahkan membawa distribusi bantuan, menyusuri daerah atau pulau yang sulit terjangkau di NTB.

Annisa juga mengatakan, pada dasarnya setiap orang memiliki jiwa sosial. Hanya saja rutinitas dan kadarnya yang berbeda dan masih bingung menempatkannya di mana, serta juga untuk apa. “Media sosial kini juga sangat bermanfaat untuk berbagi. Melalui informasi aktivitas kita seperti saat ini, bisa dijadikan salah satu cara untuk mengajak orang lain agar jangan takut berbagi,” tutupnya. (Dompet Dhuafa/Dhika Prabowo)