JAKARTA — Dalam Workshop Internasional tentang perkembangan peraturan perlindungan anak buah kapal (ABK) perikanan yang ada di Indonesia dan Taiwan, pada Kamis (20/6/2019), Wang Mei-Yu, Perwakilan Control Yuan Taiwan menanggapinya dengan positif. Wang akan segera menyampaikan dan membahasnya dengan pemerintah Taiwan. Ia juga mengaku cukup prihatin dengan beberapa migran Indonesia di Taiwan.
Hamdan, mantan ABK di Taiwan, menceritakan dirinya diperlakukan tidak layak oleh kaptennya. Bahkan kerap kali ada yang sampai meninggal dunia. Selain itu, ia dan kawan-kawannya menerima gaji tidak sesuai dengan yang disepakati.
“Saya dan kawan-kawan lainnya pernah sampai dua tahun lebih di lautan. Selama itu kami tidak pernah melihat daratan. Kami juga dipukuli,” ungkap Hamdan.
Direktorat Perlindungan WNI pernah menanyakan kepada sejumlah korban, kemudian mengambil kesimpulan bahwa awal dari permasalahan terletak pada saat pendaftaran. Kebanyakan calon pendaftar tidak memiliki pengetahuan dan kemampuan cukup dalam hal kelautan. Bahkan resikonya pun mereka tidak mengetahuinya.
“Bahkan ada orang yang tinggal di gunung, belum pernah melihat lautan, tapi mereka nekat karena faktor ekonomi. Nantinya seluruh buruh kapal akan mendaftar hanya melalui satu pintu. Itu akan meminimalisir adanya kecurangan-kecurangan, khususnya dari perusahaan terkait,” terang Yudha, Direktorat Perlindungan WNI Kementerian Luar Negeri Indonesia.
Evi Risna Yanti, Direktur Pusat Bantuan Hukum Dompet Dhuafa, berharap setelah diadakannya workshop, Pemerintah Indonesia segera untuk mengesahkan RPP dan membentuk tim khusus yang terdiri dari perwakilan pemerintah, masyarakat sipil, akademisi dan asosiasi manning agency untuk memulai pembahasan ratifikasi ILO C188. Sehingga para migran ABK Indonesia mendapatkan perlindungan hukum, mulai dari pemberangkatannya hingga kepulangannya kembali ke Indonesia. (Dompet Dhuafa/Muthohar)