Pembelajaran dari Afrika Tengah

Krisis kemanusiaan luar biasa pecah di Republik Afrika Tengah. Gelombang pengungsian menyusuli konflik bersenjata. Rasa kemanusiaan seolah lenyap dari sanubari mereka yang bertikai. Manusia memburu, menyakiti, bahkan membantai sesamanya. Yang lain diusir atau lari mengungsi ke negara tetangga. United Nations Office for the Coordination of Humanitarian Affairs (UNOCHA) menyatakan, sekitar 2,5 juta orang—di atas separuh dari 4,6 juta penduduknya—membutuhkan bantuan kemanusiaan. Lebih dari 701.500 jiwa sudah mengungsi karena lonjakan kekerasan di pusat Afrika Tengah.

Tragedi ini mendorong Dompet Dhuafa (DD) selaku lembaga kemanusiaan memberangkatkan timIndonesia Aid, Save for Central Africa, untuk membantu  para korban.  Mengapa DD peduli Afrika Tengah? DD sebagai lembaga kemanusiaan, yang mewakili komponen bangsa Indonesia, merasa terpanggil untuk urun kepedulian atas tragedi kemanusiaan yang memakan korban jiwa masif ini. DD menyatakan sikap mengutuk keras genosida atau pembantaian etnis yang terjadi di Afrika Tengah, dan menyerukan kepada dunia internasional untuk bersama-sama menggalang sinergi membantu rakyat Afrika Tengah yang terancam krisis pangan.

Dalam setiap konflik dan tragedi kemanusiaan dimanapun, pasti elemen terbesar yang terdampak konflik adalah perempuan, anak-anak dan lansia. Masalah ikutannya: kekerasan dan pelecehan seksual pada perempuan. Masa depan anak-anak negeri itu terenggut. Trauma pada anak-anak menjadi ancaman lost generation, degradasi menimpa generasi suatu bangsa menjadi tak lagi sehat mental dan jiwanya.

Perlu waktu lama menjalankan trauma healing guna memulihkan Afrika Tengah, salah satu dari failed state, negara gagal yang terjerembab menjadi law less land, wilayah atau negara tanpa hukum.

Mari kita berkaca pada tragedi kemanusiaan di Afrika Tengah. Mengerikan, ekses ketika sebuah negeri berubah menjadi failed state dan law less land. Pemimpinnya kehilangan kearifan dan wibawa. Kepentingan pemilik modal mengalahkan nurani. Undang-undang dan peraturan bisa dipesan. Kaum kaya, serakah dan mati rasa. Kaum miskin, liar dan merasa serba-boleh. Segregasi sosial atas perbedaan apa saja mengeras dan diametral. Nyawa manusia jadi murah.

Sejatinya Afrika Tengah bukan negeri minim sumberdaya. Mereka punya potensi sumberdaya bernilai tinggi: uranium, emas, berlian dan kayu-kayuan. Sudahkah sumberdaya alam terbarukan maupun tak terbarukan ini dikelola dengan bijak dan memakmurkan rakyat? Rasanya belum karena kemudian Afrika Tengah jelang era gelapnya, didahului jatuhnya perekonomian. Ia menjadi negara kelima termiskin di dunia. Dengan tingkat kemiskinan lebih dari 70 persen, bisa disebut negeri dengan kategoriextrem poverty.

Afrika Tengah pun masuk sebagai negara gagal saat pemerintah pusatnya tidak mampu lagi mengontrol atau menguasai seluruh wilayahnya. Fund for Peace dan Foreign Policy Magazinemenyusun Indeks negara gagal (Failed Stated Index) tahun 2010. Ada empat kategori Failed Stated Index: ‘Waspada’, ‘Dalam Peringatan’, ‘Sedang’ dan ‘Dapat Bertahan’. Afrika Tengah dan beberapa negara lainnya, masuk kategori ‘Waspada’.

Jangan terkejut kalau Indonesia ada dalam daftar itu meski kategorinya ‘sedikit’ di bawah Afrika Tengah: kategori ‘Dalam Peringatan’.  Bukan tanpa alasan. Pascareformasi, kerusuhan antaretnik dan golongan di berbagai daerah, melenyapkan nyawa ribuan jiwa bangsa Indonesia. Baru sebagian kecil yang diadili, menyisakan misteri. Pada suatu masa, sesama anak bangsa bertikai, tega saling menyakiti, menghancurkan bahkan mematikan. Seolah tak henti godaan untuk menceraiberaikan NKRI. Di sebagain daerah di negeri ini, masih ada yang mengungsi pascakonflik sekian tahun lalu. Kekerasaan antarkelompok ini, wajib digelontori kesalihan sosial.

Jangan biarkan banyak hati di negeri ini menjadi keras, mati rasa, serakah, memburu kuasa politik dan abai tatakrama sosial. Bibit-bibit perilaku korup, jangan biarkan mengotori jiwa bangsa. Kita sama sekali tidak ingin menjadi seperti Afrika Tengah. Mengokohkan kemanusiaan, menggelorakan pengharapan atas jiwa manusia, menjadi urusan teramat penting yang tidak hanya menjadi konsumsi orasi dan seremoni. Merawat kemanusiaan, terapi penyelamat bangsa dan menuntut kerja keras menjaga clean government, adil dan bijaksana dalam membangun, menjaga harmoni dalam keragaman. Belajar tak hanya dari yang baik. Dari yang paling runyam pun, kita harus bisa memetik hikmah.