Pengalaman Fathiya Laksono: Pertemuan Ilmu Medis dengan Agama

BOGOR — Di tengah arus modernisasi, memungkinkan pertukaran informasi yang tiada henti. Bahkan pada taraf tertentu, memungkinkan pertemuan antar sesama individu di waktu dan tempat yang berbeda. Modernisasi juga menghilangkan jarak dan waktu yang menjadi penghalang.

Dari segi ilmu pengetahuan misalnya. Di era modernisasi mampu membuka disiplin ilmu yang belum pernah ada. Sebut saja di negeri Indonesia sendiri. Indonesia tidak akan mengetahui apa itu ilmu-ilmu sosial, kedokteran, dan teknologi jika modernisasi tidak pernah terjadi. Hingga kita mungkin tidak menemukan perpaduan antar masing-masing disiplin ilmu lengkap juga dengan langkah-langkah penerapannya. Sebut saja Terapi Qur’an. Terapi Qur’an merupakan pengejawantahan ulang atas penjelasan-penjelasan Al’Qur’an di ranah terapi psikologis.

Contoh lain juga disebutkan dan dialami langsung oleh salah seorang peserta Deen Camp, bernama Fathiya Laksono (19), seorang mahasiswi Medical Enginering, Queensland University of Technology, Australia. Perempuan yang tinggal di Brisbane ini mengutarakan sedikit pengalamannya ke tim Dompet Dhuafa.

Sebagai mahasiswi Medical Enginering, dia menuturkan kisahnya kalau dengan mengambil jurusan tersebut dapat memberikan bantuan kepada khalayak luas, terutama kepada orang-orang yang tidak mampu. Sebagaimana apa yang ia lihat ketika mengunjungi Rumah Sehat milik Dompet Dhuafa. Rumah Sehat ini merupakan Rumah Sakit pada umumnya, hanya saja fasilitasnya berbasis wakaf dan ditujukan untuk sahabat- sahabat dhuafa yang kurang mampu.

“Mereka (Rumah Sehat) memberikan pelayanan terbaik bagi pasien-pasien yang mempunyai keterbatasan keuangan dan kurang mampu. Konsep tentang Rumah “Sehat” itu jauh lebih baik ketimbang Rumah “Sakit”. Karena ini menunjukkan sisi positif dari pengobatan. Mengingat pengobatan itu sendiri membutuhkan waktu dan biaya bagi keluarga dan pasien itu sendiri,” ujar Fathiya, melalui pesan singkat.

Lebih jauh lagi, Fathiya melihat bagaimana ilmu medis yang ia pelajari sangat berkaitan erat dengan nilai-nilai keislaman.

“Saya rasa menolong orang-orang sakit merupakan cara yang baik untuk memperoleh pahala dan berkontribusi kepada umat. Tetapi di waktu yang bersamaan, saya harus mempertimbangkan mesin yang saya buat tidak selalu mampu menolong 100%. Saya hanya bisa melakukan apa yang dikehendaki oleh Allah. Jadi apa yang saya pelajari melalui kegiatan (Deen Camp) ini ialah tawakkal dan pasrah kepada Allah,” lanjut Fathiya.

Pentingnya untuk berpasrah kepada Allah merupakan syarat pertama untuk menekuni ilmu-ilmu medis. Syarat selanjutnya seperti yang dikatakan oleh Fathiya ialah untuk benar-benar membantu masyarakat. Jika itu tidak atau kurang membantu, bahkan dinilai haram. Maka harus dijauhi.

“Apa pun manfaat yang dianjurkan oleh Islam, Insyaa Allah saya lakukan. Apa pun yang haram dan berbahaya yang dilarang oleh Islam, saya akan menghindarinya sebisa mungkin. Contoh semisal prostetik (mesin bantu kesehatan) yang dibuat itu untuk membantu fungsi tubuh yang sangat penting untuk hidup. Maka akan Saya kerjakan. Tetapi apabila prostetik itu hanya sekedar untuk mempercantik tubuh atau lebih merugikan ketimbang membantu bagi pasien. Maka tidak akan Saya kerjakan,” tutup Fathiya. (Dompet Dhuafa/Fajar)