?Politik? Pangan Kasepuhan Sinar Resmi

Di lumbung kita menabung.

Datang paceklik kita tak bingung.

Penggalan lirik lagu “Desa” karya Iwan Fals di atas sesuai dengan kenyataan yang berjalan di lingkugan warga Kasepuhan Banten Kidul Sinar Resmi, Kecamatan Cisolok, Sukabumi, Jawa Barat. Ketika kita memasuki kawasan tersebut, terlihat deretan bangunan mungil nan eksotik dari kayu dengan atap ijuk pohon Aren. Bangunan tersebut menjadi penting bagi masyarakat kasepuhan. Karena di situlah tempat mereka menabung bahan makanan utama, tempat menyimpan ratusan pocong (ikat) padi yang telah kering dan siap tumbuk. Warga Kasepuhan Sinar Resmi menamakannya dengan sebutan “Leuit Pare” atau lumbung padi.

Setiap panen raya, warga akan menyimpan minimal 365 pocong padi sebagai tabungan untuk memenuhi kebutuhan makanan pokok sehari-hari selama setahun ke depan. Menurut perhitungan mereka setiap hari membutuhkan satu pocong padi untuk makan satu keluarga (5 orang). Pada saat musim panen warga akan berusaha memenuhi persediaan padi sebanyak itu. Apabila persediaan belum mencapai 365 pocong, mereka akan berusaha mencari tambahan dari sumber lain agar persediaan terpenuhi. Tambahan yang dimaksud bisa berupa singkong, ubi, jagung, atau bahan makanan pokok lainnya yang dapat menggantikan padi.

Budaya masyarakat kasepuhan ini sekilas terlihat sederhana, namun jika kita kaji lebih dalam sungguh mengandung dampak sosial dan ekonomi yang sangat strategis. Dengan menabung padi di lumbung, sejumlah kebutuhan merekaselama setahun tidak akan pernah kekurangan bahan makanan pokok beras, termasuk pada saat musim paceklik atau gagal panen. Masyarakat tidak akan merasakan susahnya beli beras, tidak perlu mencicipi rasanya beras “raskin” dengan kualitas rendah, dan tidak akan terbebani mahalnya harga beras. Semua sudah tersedia padi (beras) dengan kualitas terbaik dan sehat serta harga yang murah.

Kondisi sosial masyarakat seperti itu sudah barang tentu berada pada posisi ideal. Masyarakat yang merasa hidupnya serba terpenuhi akan melahirkan masyarakat yang produktif dan selalu berfikir positif. Nanti pada gilirannya akan mampu menciptakan masyarakat madani yang berkeadilan sosial.

“Sebagai keturunan Kasepuhan (desa adat) kami bersama-sama menjaga kearifan lokal, khususnya bidang pertanian. Dalam hal ini benih lokal padi yang menjadi warisan kebudayaan. Bila peraturan adat terus diterapkan, insyaa Allah Tuhan juga pasti mempermudah semuanya. Alhamdulillah, di Kasepuhan ini belum pernah mengalami masa paceklik. Sehingga persediaan pangan atau bahan pokok untuk di konsumsi di lumbung, terus terpenuhi. Dengan mematuhi peraturan adat, kemurnian benih lokal tetap terjaga dengan baik,” ungkap Abah Asep Nugraha, Ketua Adat Kasepuhan Sinar Resmi.

Menurut Abah, warga di Kasepuhan selalu bercermin pada hukum adat yang telah diterapkan. Begitu juga halnya dengan tradisi menjaga benih lokal. Khususnya benih padi yang sudah dilestarikan turun-temurun sejak lima abad lalu. Kelestarian yang dijaga pun membuahkan hasil. Terdapat 60 jenis benih padi unggul yang kelak menjadi cikal bakal ketahanan pangan bagi warga Kasepuhan.

Dari sisi ekonomi, lumbung padi menjadi sangat strategis keberadaannya, karena mampu mengendalikan inflasi. Dalam ilmu ekonomi pembangunan, salah satu penyebab inflasi adalah berkurangnya suplay bahan makanan pokok. Ketika suplay berkurang dengan demand yang tetap atau bahkan naik, akan menyebabkan kenaikan harga. Kenaikan harga dalam waktu yang relatif lama, tetap akan menyebabkan inflasi. Kondisi semacam itu biasanya terjadi pada saat musim paceklik atau gagal panen. Di Kasepuhan Sinar Resmi sangat kecil terjadi inflasi yang disebabkan oleh kegagalan panen atau musim paceklik. Karena masyarakat memiliki persediaan yang cukup untuk menghadapi masa tersebut.

Dengan penjelasan di atas, nyatalah “manajemen” lumbung padi mampu menjaga stabilitas sosial dan ekonomi masyarakat. Andai sistem ini dapat diterapkan di berbagai wilayah, akan dengan sendirinya mampu menjaga dan mengatur stabilitas sosial, ekonomi, bahkan politik negara ini. (Dompet Dhuafa/Ajat Sudrajat)