Dalam sebuah hadist riwayat Ahmad, Ath-Thabrani, dan Ad-Daruqutni menyebutkan bahwa sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat kepada sesama manusia. Hadist ini merupakan salah satu bentuk habluminannas atau hubungan antar manusia. Manusia satu membutuhkan manusia lainnya untuk bertahan hidup. Oleh karena itu, diperlukan interaksi yang saling menguntungkan satu sama lain.
Salah satunya adalah menolong dan membantu saat dalam keadaan susah. Bencana adalah salah satu contoh. Melalui bencana, bisa kita lihat bantuan datang ke daerah tersebut. Tujuannya satu, yaitu agar korban bencana bisa keluar dari kondisi kelam bencana dan kembali hidup seperti semula.
Selain bantuan pangan, sandang, dan papan, kita juga tidak boleh lupa bahwa ada relawan yang turut membantu korban bencana atau pengungsi. Seperti artinya, relawan atau sukarelawan adalah mereka yang membantu tanpa paksaan. Relawan murni membantu atas dasar empati mereka yang tinggi. Atas dasar ini, mereka rela meluangkan waktu dan materi. Bagi mereka, melihat senyum korban bencana atau pengungsi adalah sumber kebahagiaannya.
Melihat dari maknanya, maka bisa dikatakan bahwa relawan adalah pahlawan. Seperti yang dikatakan oleh salah satu relawan Dompet Dhuafa di Riau, Heriyanto. Menurutnya, relawan banyak melakukan pengorbanan sehingga pantas disebut sebagai pahlawan.
“Mereka telah memberikan tenaga, pikiran, waktu dan juga terkadang materi untuk melakukan aksi kemanusiaan, sosial bagi masyarakat banyak tanpa mengharapkan pujian dan balas jasa”, katanya beberapa waktu lalu.
Sebagai lembaga kemanusiaan, Dompet Dhuafa sendiri mempunyai Dompet Dhuafa Volunteer (DDV) yang dibuat untuk mengakomodir kegiatan kemanusiaan khususnya kebencanaan. Hingga saat ini, jumlah relawan yang terdaftar di DDV ada 5300 orang. Namun, menurut Muharram Atha Rasyadi, staf Pengembangan Jaringan dan Aliansi Dompet Dhuafa jumlahnya sebenarnya lebih banyak.
“Kenyataannya jumlah tersebut lebih banyak karena setiap bencana, Disaster Management Centre Dompet Dhuafa di daerah juga menghidupkan relawan lokal di sana,” ujar Atta ketika ditemui di kantor Dompet Dhuafa pusat.
Ditambahkan oleh Atta, sebagian besar relawan yang aktif berusia 18-26 tahun, atau usia mahasiswa. Perkuliahan yang hanya mengerjakan skripsi atau tugas akhir membuat mereka menggunakan waktu luang untuk menjadi relawan. Tidak dipungkiri, ada juga relawan ibu-ibu yang membantu di dapur umum.
Salah satunya Meli Erlina relawan ibu-ibu yang pernah membantu di dapur umum untuk pengungsi Rohingya. Saat diwawancara, selama sepuluh hari di Langsa, Aceh, dia harus memasak nasi untuk 700-an pengungsi.
“Masak untuk tujuh ratus orang capek. Tapi itu semua terbayar dengan senyum mereka. Ada kepuasan tersendiri saat melihatnya,” tutur Meli di sela-sela kesibukannya memasak beberapa waktu lalu.
Hal yang sama juga dirasakan oleh Syahfitri, relawan yang membantu pengungsi Rohingya di Langsa. Ia bersama teman-teman dari IAIN Zawiyah Cot Kalla, Langsa menjadi tenaga pengajar di Rumah Ceria yang dibuat oleh Dompet Dhuafa.
Diakui oleh Syahfitri, membantu pengungsi untuk mengisi hari-hari mereka secara sukarela, terkadang memang menjadi hal yang melelahkan. Di sela-sela kuliahnya, ia harus meluangkan waktu untuk mengajar Bahasa Inggris kepada pengungsi. Namun hal tersebut tidak dirasakan oleh gadis berusia 21 tahun ini. Baginya, melihat pengungsi bisa tertawa dan dekat tanpa rasa canggung adalah bayaran yang setimpal. Namun baginya, tidak ada alasan untuk tidak menjadi relawan bagi anak muda.
“Ngga ada yang dirugikan kalau mau membantu sesama,” ujarnya semangat.
Banyak pengorbanan yang dilakukan oleh relawan. Mereka rela meninggalkan hidup nyaman untuk membantu sesama. Tenaga, waktu, pikiran, bahkan materi rela mereka berikan tanpa pamrih. Relawan adalah pahlawan tanpa tanda jasa. (Dompet Dhuafa/Erni)