Sakban, Dai Penjaga Cahaya Islam di Pulau Samosir

SUMATRA UTARA — Di antara ratusan ribu jiwa populasi di Pulau Samosir, ada kurang dari tiga persen masyarakatnya memeluk agama Islam. Jumlah yang sedikit itu tak berada hanya di suatu kawasan, namun tersebar di lokasi-lokasi yang cukup berjauhan. Meski Samosir adalah pulau di atas danau, namun pulau ini memiliki luas mencapai 63.000 hektar atau sekitar 640 km persegi yang hampir setara dengan pulau negara Singapura.

Berdampingan dengan rumah ibadah dan simbol-simbol agama lain, berdiri kokoh Masjid Nurul Islam di tepi Pulau Samosir, Desa Tambun Sukkean, Kecamatan Onan Runggu. Meski berada jauh di pelosok Tanah Batak, namun suara azan tak henti berseru setiap kali tiba waktu salat lima waktu.

Menurut cerita warga setempat, dulu masjid ini dibangun bersamaan dengan dibawanya ajaran Islam ke Pulau Samosir oleh Tumbur Lobey Japadang Samosir pada tahun 1932. Selanjutnya, Khalifah M. Salim Samosir mengembangkan ajaran Agama Islam di pulau ini. Hingga kini, keyakinan sebagian masyarakat Samosir terhadap ajaran Islam masih terus terjaga, salah satunya berkat Ustaz/Imam Muhammad Sakban.

Baca juga: Mujahadah Lailatulqadar, WNI dan Diaspora Indonesia di Kaledonia Baru Gelar Salat Tasbih Bersama Dai Ambassador

Prasasti peresmian Masjid Nurul Islam oleh perwakilan keluarga Pomparan Tumbur Lobey Samosir, yaitu M. Thamrin Samosir pada 19 Desember 2023 bertepatan dengan 25 Jumadil Awal 1444 H.
Prasasti peresmian Masjid Nurul Islam oleh perwakilan keluarga Pomparan Tumbur Lobey Samosir, yaitu M. Thamrin Samosir pada 19 Desember 2023 bertepatan dengan 25 Jumadil Awal 1444 H.

Imam Sakban mendapatkan penugasan dakwah dari Dompet Dhuafa Waspada (Sumatra Utara) sejak tahun 2016 hingga sekarang. Sejak itu, pria asal Lubuk Pakam, Kabupaten Deli Serdang itu mulai berinteraksi dengan masyarakat Samosir, hingga berkeluarga di sana.

Ia mengaku telah banyak melihat dan merasakan setiap perkembangan Islam sejak tahun 2016 itu. Mulanya, Masjid Nurul Islam yang ia tempati saat pertama kali datang berdakwah hanya sebidang surau dengan kubah kecil di atasnya. Namun, itu tak menyurutkannya untuk melakukan misi dakwah Dompet Dhuafa. Justru semangatnya untuk berjihad semakin bergejolak.

Kegiatan dakwahnya yang sangat aktif menjadikan banyak masyarakat muslim luar daerah yang singgah kemudian ikut peduli terhadap masjid ini. Hingga suatu ketika, ada seseorang yang bersedia merenovasi masjid ini menjadi kokoh, permanen dan sangat layak sebagai cerminan bangunan umat Islam.

“Banyak senang selama delapan tahun bertugas di sini. Bahagia itu ketika melihat anak-anak antusias belajar mengaji. Dan juga melihat perempuan-perempuan muslim mengenakan hijab atau pakaian-pakaian tertutup,” ucapnya, Rabu (19/06/2024).

Baca juga: Dai Ambassador Gelar Pengajian Bersama Jemaah ‘Ngulonan’ di Suriname

Nampak kokoh dan megah Masjid Nurul Islam, masjid pertama di Pulau Samosir.
Nampak kokoh dan megah Masjid Nurul Islam, masjid pertama di Pulau Samosir.

Jika bisa dikata, Imam Muhammad Sakban adalah simbol representatif muslim di Pulau Samosir. ‘Cepat kaki ringan tangan’ untuk melangkah mengunjungi setiap belahan pulau menjadikannya dikenal oleh seluruh muslim yang bermukim di Samosir.

Sebagai Dai Dompet Dhuafa, ia juga bertugas untuk menggelar kegiatan-kegiatan keagamaan seperti mengaji untuk anak-anak, mengaji untuk bapak-bapak, juga untuk ibu-ibu. Sebutnya, kegiatan rutin pada hari Senin dan Selasa adalah mengajar ngaji kepada anak-anak di Desa Sigaol Marbun, Kecamatan Palipi pada sore hari. Karena di sana tidak ada masjid, maka kegiatan ini berlangsung di rumah warga.

“Di sana tidak ada masjid. Jadi ngajinya di rumah warga. Kita kumpulkan anak-anak untuk belajar ngaji sore selepas pulang sekolah,” sebutnya.

Kemudian pada hari Rabu hingga Kamis, kegiatan ngaji berlangsung di Masjid Nurul Islam. Lebih khusus, pada sore hari setelah dzuhur adalah waktu pengajian bagi ibu-ibu, kemudian setelah waktu ashar bagi anak anak, dilanjutkan malamnya untuk bapak-bapak.

Di hari Jumat usai memimpin salat Jumat di Masjid Nurul Islam, Imam Sakban biasa beranjak menuju Kecamatan Nainggolan memimpin ibadah wirid pada malam harinya. Jarak yang harus ia tempuh menuju titik ini adalah sejauh 20 km dari Masjid Nurul Islam. Di Kecamatan Nainggolan ini hanya hanya ada 10 keluarga yang muslim. Meski begitu, kegiatan wirid biasanya bersambung kepada diskusi seputar agama hingga pukul 23.00 WIB.

Baca juga: Dai Ambassador Berdakwah dengan Bukber dan Fenomena Nonmuslim yang Nyaman Ikut Bukber di Jepang

Pemandangan di depan masjid Nurul Islam langsung berhadapan dengan Danau Toba.
Pemandangan di depan masjid Nurul Islam langsung berhadapan dengan Danau Toba.

Tak banyak memang jumlah masjid di Kabupaten Samosir. Tercatat hanya ada tujuh masjid. Sementara yang ada di dalam Pulau Samorsir, hanya ada tiga masjid. salah satunya Nurul Islam yang merupakan masjid tertua di pulau itu.

Hal yang masih menjadi kendala dakwah menurut Imam Sakban adalah jarak antar warga muslim berjauhan. Maka, setiap kali ada kegiatan, masing-masing warga harus mengeluarkan pengorbanan. Khususnya dalam hal menjangkau dari satu tempat ke tempat lain.

“Ada kalanya saya yang beranjak ke tempat-tempat mereka. Ada kalanya mereka yang datang ke sini (masjid Nurul Islam),” jelasnya.

“Namun di situ kami tetap merasa senang dan bahagia. Karena dengan berada sebagai minoritas, kekompakan kami justru sangat kuat untuk menjaga agama Allah yang haq ini,” lanjutnya.

Ia pun begitu bersyukur, warga non muslim di lingkungannya dapat menerima kegiatannya dengan bijak. Di sisi dirinya aktif melakukan dakwah ke sana dan ke sini, ia juga berusaha tetap aktif mengikuti setiap kegiatan sosial kemasyarakatan yang ada di setiap kampung yang ia kunjungi. Selagi itu bukan menyangkut kegiatan peribadatan, Imam Sakban dan jamaah muslim lainnya selalu mengupayakan untuk ikut berkontribusi.

Oleh itu, meski eksistensi Islam berada pada garis minoritas di daerah itu, toleransi selalu terjaga. Mereka bebas menjalankan ibadah masing-masing. Masjid yang ada di sana pun sudah biasa berada berdampingan dengan gereja maupun rumah ibadah Parmalim.

Bila ada suatu perhelatan pesta adat, penyelenggara pesta biasanya menugaskan umat muslim untuk mengelola masakan. Hal ini sebagai cara agar semua orang dapat menikmati makanan yang disajikan. (Dompet Dhuafa)

Teks dan foto: Riza Muthohar
Penyunting: Dhika Prabowo