Semangat Sajum Sebagai Penjahit Manfaat Dalam Keterbatasan Fisiknya

TANGERANG — “Setelah kecelakaan kereta, saya sering dihina. Katanya saya tidak bisa apa-apa,” lirih Sajum (76), sambil mengingat awal mula rintihan nasibnya sejak 35 tahun silam. Beliau kehilangan kaki kirinya (dari lutut ke bawah), dan menggunakan satu tongkat kayu sebagai pijakan dalam kesederhanaannya sehari-hari.

Kini, dengan keterbatasan fisik yang dimiliki, menjahit adalah pilihan dan keterampilan terbaik bagi beliau untuk dijalani hingga kini. Sebelumnya ia bekerja sebagai pendayung perahu di sungai, petugas parkir jalanan, hingga menjadi pedagang asongan. Uang hasil kerja kerasnya ia kumpulkan sedikit demi sedikit sebagai modal belajar menjahit. Beliau juga menjual gerobak dagangan asongannya untuk modal membeli mesin jahit bekas di awal memulai pekerjaannya.

Berada di dalam sisi gang yang sempit di Pasar Lama Tangerang, Desa Sukarasa, ditemuinya tim Lembaga Pelayan Masyarakat (LPM) Dompet Dhuafa pada Sabtu (6/1), sekaligus menjadi kesempatan penyerahan donasi mesin jahit program disabilitas dan dekorasi kiosnya. Bersama istrinya yang mendampingi, Sajum menaruh banyak harapan di ruang karya yang hanya berukuran 2×1 meter, dengan tinggi 2,5 meter. Mereka melayani pelanggan untuk jahit vermak ukuran, jahit resleting, atau memasang kancing. “Alhamdulillah sekali, istri saya juga bisa menjahit,” tegas beliau hingga tiga kali mengucap hal yang sama.

Apa adanya adalah gaya Sajum. Beliau tidak mau memaksa atau menagih bila ada pelanggan yang belum membayar ongkos jahitnya, “Mungkin lupa atau belum ada uang. Terpenting hubungan baik tetap terjaga, soal rezeki Allah sudah mengaturnya,” tutur Sajum dengan senyum.

Namun, usianya yang tidak lagi muda, tak menuakan rasa semangatnya untuk menikmati hidup. Kondisi fisiknya yang tidak lagi bugar, tak melemahkan perjuangannya melanjutkan hidup. “Saya tidak mau hidup hanya sekedar menengadahkan tangan saja. Saya bisa, saya mau, kita harus bermanfaat untuk sekitar,” tuturnya.

Setelah itu, Sajum langsung duduk menghampiri dan mencoba ‘bermain’ dengan rincian kecil mesin jahit baru yang tak lagi kropos mejanya. Tidak lama kemudian, ia berusaha bangun dari tempat duduknya dan berkata, “Mohon maaf sekali, sudah hampir waktu Dzuhur ini (sambil menunjuk arloji tua nya), saya harus ke Masjid dulu ya,” pintanya yang kemudian mengambil tongkat kayunya, dan berjalan tertatih meninggalkan kios. (Dompet Dhuafa/Dhika Prabowo)