Sepanjang Hidup Mengolah Sawah, Sutarno Temukan Kembali Gairah Bertani

WONOGIRI — “Coba mas ingat-ingat, makan dari mana? Ya kita para petani yang menyediakan. Kurang mulia apa kita, pekerjaan kita menyediakan makanan untuk masyarakat,” aku Sutarno (65), sambil menunjukan padi yang siap dipanen.

Sejak kecil mengenal berocok tanam, membuat Sutarno menasbihkan diri sebagai petani. Hingga umurnya yang menginjak kepala enam, ia masih aktif mengelola tanah miliknya di Desa Wiroko, Kecamatan Tirtomoyo, Wonogiri. Bukan berarati ia menafikan profesi lainnya. Namun ia merasa bahagia dengan profesi tersebut. Bahkan Sutarno sendiri sudah 35 tahun mengajar sebagai guru SD dan SMP. Tapi tangannya tidak pernah lepas dari cangkul.

“Saya dulu PNS mas, tapi kalau sudah selesai ngajar ya kangen sama ladang. Setiap hari selalu menyempatkan diri untuk mengolah sawah. Melihat tanaman yang tumbuh dan berbuah banyak, menjadi kebahagiaan yang tidak ternilai,” tambahnya.

Puluhan tahun meladang hingga memasuki masa pensiunnya dari mengajar, sudah berbagai macam tanaman pangan Sutarno olah. Namun belakangan, ia merasa bahwa pertanian yang sekarang berbeda dengan zaman dahulu. Perubahan alam, terutama kualitas tanah menjadi salah satu faktor paling mempengaruhi. Kandungan unsur hara untuk menjamin nutrisi tanaman sudah sangat sedikit. Hal tersebut dikarenakan efek pestisida dan bahan kimia yang selama ini petani gunakan. Tidak terasa, penggunaan unsur kimia tersebut merusak unsur hara di dalam tanah.

“Kita kelompok tani, bersama tim peneliti mendapati temuan mengejutkan. Karena tanah sawah di desa ini sudah dalam kondisi kritis. Bahkan ketika kita lihat, tanah di kedalaman 20 cm itu sudah mengeras, seperti keramik, sama sekali tidak ideal untuk media tanam padi,” terangnya.

Sekitar empat bulan lalu, Sutarno bersama kelompok taninya mengembangkan konsep pertanian baru yang lebih ramah lingkungan. Dengan bantuan dari Lembaga Kursus dan Pelatihan (LKP) Lembah Kamuning dan dibimbing Dompet Dhuafa, konsep pertanian SRI (System of Rice Intencification) di uji coba. Sebuah konsep ecologycal farming yang lebih bersahabat dengan media tanam. Karena bebas pertisida dan memperkaya unsur hara tanah. Menggunakan tanah desa seluas satu hektar, padi berhasil bertahan dari kemarau panjang dan hama wereng. Bagai suatu keajaiban, gairah bertani yang Sutarno rasakan dahulu kala kembali hadir.

“Dengan konsep yang dikenalkan oleh Dompet Dhuafa dan Lembah Kemuning, saya jadi terbuka. Penggunaan pestisida hanya akan membuat sawah jadi sakit, hasil berasnya pun juga kurang sehat. Dari segi ekonomi juga lebih murah bagi petani. Karena tidak harus beli pestisida,” jelas ayah tiga anak tersebut. (Dompet Dhuafa/Zul)