Tak Segan Berbisnis dengan Mantan Preman

MAKASSAR — Premanisme sangat lekat dengan stigma negatif di masyarakat. Masyarakat melabeli mereka dengan cap pengangguran, pembuat keributan, dan sumber dari masalah di masyarakat. Namun seorang mahasiswa asal Makassar, Andi Hilmy Mutawakkil (23), melihat preman sebagai salah satu potensi untuk mengembangkan usahanya dan langkah pemberdayaan masyarakat.

Berawal dari idenya membuat suatu produk olahan minyak jelantah, Hilmy mulai memutar otak untuk mengembangkan bisnisnya tersebut. Awal mula mengembangkan bisnis, Hilmy harus melalui jalan yang berliku. Setelah berhasil mengolah minyak jelantah menjadi biodiesel yang diberi nama Genoil, Hilmy harus kembali memutar otak untuk melakukan pemasaran. Ia dan beberapa temannya memutuskan untuk menawarkan produk temuannya kepada para nelayan. Tak dinyana, ternyata sambutan para nelayan sangat baik. Produk olahan Hilmy dinilai lebih hemat 20% dibandingkan solar yang biasa mereka pakai. Setelah menemukan konsumen, Hilmy justru dihadapkan dengan kesulitan untuk mencari bahan baku biodieselnya, yaitu minyak jelantah.

Allah memang mengirimkan bantuannya dari segala sisi. Suatu hari, saat Hilmy berjalan-jalan di pasar, ia bertemu dengan salah seorang teman lamanya. Sayang sekali, temannya itu memiliki nasib yang berbeda dengan Hilmy. Kerasnya kehidupan membuat kawan Hilmy menganggur dan menjadi kepala preman pasar. Setelah berbincang, Hilmy merasa menemukan jawaban atas kesulitannya mencari bahan baku biodiesel. Hilmy pun mengajak temannya tersebut untuk menjadi pengepul minyak jelantah dari restoran dan hotel. Akhirnya, sang kepala preman itu pun mengajak rekan lainnya untuk menjadi pengepul minyak jelantah.

Ujiannya belum selesai sampai disitu. Mahasiswa Jurusan Pendidikan Antropologi Universitas Negeri Makassar ini melihat bahwa bisnisnya dapat berkembang lebih besar lagi. Namun, dari sisi permodalan masih kurang mencukupi. Dengan modal nekat, ia dan dua temannya terbang ke Jakarta untuk mencari investor.

“Kami bertiga terbang ke Jakarta. Padahal kami tidak memiliki saudara maupun kenalan di Jakarta. Kita hanya modal nekat. Akhirnya kamipun menginap di rumah seorang kenalan di pesawat menuju Jakarta. Beberapa hari di Jakarta, kami pergi ke kementerian-kementerian, perusahaan swasta, tetapi hasilnya nihil. Saya masih ingat, saking seringnya berjalan kaki, sepatu saya sampai rusak,” ujar Hilmy, mengenang perjuangannya.

Hilmy dan teman-temannya pun pulang kembali ke Makassar dengan tangan kosong. Namun tekadnya tak pudar. Ia dan teman-temannya meminta izin orangtua untuk menggadaikan beberapa barang berharga mereka, seperti motor dan mobil sebagai modal usaha. Setelah modal terkumpul, Hilmy kembali menjalankan bisnisnya tersebut, masih melalui kerjasama dengan para preman.

Usahanya tersebut sedikit demi sedikit mulai membuahkan hasil. Terlebih setelah ia mengikuti program Social Enterpreneur Academy (SEA) yang diadakan Dompet Dhuafa. Ia mendapat bantuan modal dan pelatihan wirausaha. Kini, Hilmy telah membantu kurang lebih 33 kelompok nelayan dan memberdayakan 25 mantan preman. Bisnis sosialnya, kini membawa Hilmy menjadi juara satu kompetisi Wirausaha Muda Mandiri (WMM), bidang wirausaha sosial pada Sabtu (11/3). Namun menurut Hilmy, ini bukanlah akhir dari perjuangan, justru merupakan gerbang pembuka baginya dan CV Garuda Energi Nusantara besutannya, untuk mengembangkan sayap dan membentangkan kebaikan yang lebih luas. (Dompet Dhuafa/Dea)