Tongkat Bikin Ketiak Jadi Sakit, Sepenggal Kisah Penerima Manfaat Kaki Palsu

TANGERANG — Jajang (68) tengah sibuk menikmati santap siangnya. Dengan memegang sepotong kue di tangan kanan, sambil sesekali meneguk air dari tangan kirinya. Beliau sendiri merupakan penerima manfaat kaki palsu atas inisiatif PT. Asuransi Adira Dinamika Unit Syaria, atau yang biasa dikenal dengan Adira Insurance Syariah bersama Institut Kemandirian Dompet Dhuafa dan RS. dr. Suyoto.

Beliau sebelum kehilangan kakinya sempat aktif di dunia pengelasan di daerahnya. Namun di 2006, ia kehilangan kaki. Hingga harus berhenti kerja.

“Kecelakaan itu, ada teman dari Pekanbaru mau pulang. Dia minta jemput di Jagorawi. Rumahnya di Gunung Putri. Habis sampai rumahnya sekitar jam 8 malam. Terus ngobrol-ngobrol sampai jam 9 malam. Nah pas mau pulang, tiba-tiba ketemu teman, akhirnya berhenti sebentar untuk ngobrol lagi. Kaki Saya berpijak di trotoar, satunya lagi masih di motor. Lalu dari kejauhan, terlihat ada angkot ugal-ugalan, salip-salipan, kejar-kejaran. Nah tahu beler atau bagaimana. Akhirnya Saya malah “dimakan” sampai putus,” terangnya ketika ditemui di Institut Kemandirian Dompet Dhuafa, Islamic Village, Karawaci, Tangerang, Selasa (10/9/2019).

Beliau sempat dibawa ke dokter untuk pengobatan. Namun dokter mengusulkan untuk langsung diamputasi. Tapi karena (lagi-lagi) keterbatasan dana, akhirnya beliau bersama keluarganya mencoba cari alternatif dengan ke dukun patah tulang di Bogor. Selang enam hari, ternyata infeksinya makin parah. Karena khawatir, akhirnya beliau dibawa kembali ke rumah sakit. Biayanya sekitar Rp. 25 juta. Itu juga harus jual rumah. Pinjam ke sana-sini. Hingga sekarang beliau masih tinggal bersama anak dan menantunya. Lantaran sudah tidak punya tempat tinggal dan pekerjaan.

“Perasaannya bagaimana ya Allah, jika bapak dapat rezeki, bapak ingin sekali bayar hutang. Soalnya bapak nggak mau bawa hutang ketika bapak meninggal. Tanggung jawabnya berat,” akunya.

Rencana dengan kaki palsu, ia ingin melamar kerja sambil cari pemodal buat usaha. Di daerah beliau itu banyak singkong dan kelapa. Beliau bertekad untuk membuat keripik dan es kelapa.

“Asal nggak mengemis saja dek. Sempet diajak ngemis. Tapi bapak tetap nggak mau. Ngemis memang dapat uang banyak. Sehari bisa Rp. 300.000, Rp. 500.000, bahkan Rp. 700.000. Cuma nanti kata ustadz yang tv itu, kalau orang suka minta-minta nanti pulang akhirat mukanya tidak berupa muka, dan badannya tidak berupa badan. Nah bapak takut di situ. Bapak ingat kesitu saja. Kalau bapak nggak inget mah mungkin saja bapak sudah ngemis”.

Tidak lama kemudian Haerudin (47), menimbrung percakapan. Lantaran posisi duduknya yang memang bersebelahan dengan Jajang. Pak Herudin sendiri tinggal di Parung. Sambil mencoba usaha kecil-kecilan. Alias berdagang sembako. Walaupun tidak semegah minimarket. Tapi setidaknya itu merupakan pekerjaan yang halal dan mampu menghidupi istri beserta lima anaknya.

“Tapi punya kaki memang lebih baik. Enak, ketiak kita jadi nggak sakit. Kalau pakai tongkat suka bikin sakit,” tutup Haerudin. (Dompet Dhuafa/Fajar)